Dampak yang diharapkan berupa naiknya kunjungan wisatawan karena kenaikan kelas diprediksi mampu mengundang partisipasi para pebalap sepeda kelas dunia. Dengan begitu, media pun diyakini bakal lebih tertarik untuk meliput, mengingat televisi-televisi internasional hanya tertarik menyiarkan balapan sepeda kelas 2.1 ke atas.
Itu berarti promosi lebih luas bagi lomba ini, termasuk pariwisata Sumatera Barat dan Indonesia pada umumnya. Nama Tour de Singkarak (TdS) yang lebih terekspose diharapkan mampu memancing kedatangan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
Namun, di sisi lain, peningkatan kelas berarti tidak memungkinkan pebalap regional berpartisipasi dan lebih sedikit pebalap nasional karena lomba ini harus mengakomodasi lebih banyak tim profesional dan tim kontinental. Dengan begitu, pebalap di Tanah Air akan lebih banyak menjadi penonton bagi lomba yang diselenggarakan di negeri sendiri.
Meski begitu, dari kacamata positif, dalam jangka panjang bolehlah berharap para pebalap sepeda dalam negeri akan tersuntik semangatnya untuk meningkatkan prestasi agar mampu berpartisipasi dalam lomba ini.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif adalah pihak yang paling bersemangat mendorong kenaikan kelas Tour de Singkarak. Apalagi mendengar informasi dari Amaury Sport Organisation (ASO) yang selama ini menjadi konsultan mereka bahwa Tour de Singkarak memiliki potensi besar. Penonton di sepanjang jalan yang menjadi rute tur sepeda yang baru berusia lima tahun ini, menurut perhitungan ASO, sudah mencapai satu juta orang.
ASO adalah pemilik dan penyelenggara lomba balap sepeda Tour de France yang tahun ini mencapai edisi ke-100.
”Tour de Singkarak adalah aset yang cukup baik, terutama dari potensi penonton. Pebalap sepeda senang melihat kerumunan penonton. Mereka merasa termotivasi dan itu membuat mereka ingin kembali,” kata Project Manager ASO Business Development, Robin Cassuto di kantor ASO di Paris, Perancis, beberapa waktu lalu.
Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar mengatakan, Indonesia baru tahap memulai pengembangan sport tourism (pariwisata olahraga). Pariwisata ini dapat dimanfaatkan sebagai jembatan bagi pariwisata alam dan budaya yang selama ini menjadi daya tarik tradisional pariwisata Indonesia.
TdS mendapat dorongan besar, mengingat potensi penonton yang luar biasa. Sapta mencontohkan sepak bola yang menjadi olahraga paling populer di Indonesia. Namun, sebenarnya dari segi penonton langsung terbatas mengikuti kapasitas stadion. Berbeda dengan balap sepeda yang mampu mendatangkan crowd atau kerumunan penonton yang ”tidak terbatas” karena lintasan etape bisa mencapai ribuan kilometer.
Jumlah penonton yang besar berarti daya tarik bagi sponsor dan pemasang iklan. Sejauh ini, menurut Sapta, sudah ada beberapa sponsor besar yang bergabung meski baru mampu mencakup 30 persen biaya penyelenggaraan. Namun, tujuan terpenting adalah pengembalian investasi dalam bentuk kunjungan wisatawan dan efek berganda terhadap ekonomi masyarakat lokal.
Rombongan berada di Perancis pada 17-23 Juli lalu untuk mengalami dan melihat langsung penyelenggaraan TdF. Seeing is believing. Menurut Sapta, melihat langsung diharapkan menjadi sarana pembelajaran efektif.
Rombongan dari Indonesia selain dari Kementerian Pariwisata Ekonomi dan Kreatif, juga Wakil Gubernur Sumatera Barat Muslim Kasim dan empat bupati yang wilayahnya dilewati rute TdS, yakni Bupati Dharmasraya Adi Gunawan, Bupati Padang Pariaman Ali Mukhni, Bupati Solok Selatan Muzni Zakaria, dan Wali Kota Padang Panjang Suir Syam. Ikut juga Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Barat Burhasman, perwira Kepolisian Daerah Sumatera Barat, serta dua wartawan.