Raffles pun mengutus Letnan Owen Phillips untuk mencari tahu letusan gunung di sisi timur dari Pulau Jawa. Phillips menemui Raja Sanggar yang selamat dari "amarah" Gunung Tambora di Pulau Sumbawa. Dalam catatan Phillips, Raja Sanggar menuturkan bahwa pada 10 April 1815 tiga kolom raksasa muncul dari puncak Gunung Tambora dan membubung tinggi.
“Ketiga kolom bergabung menjadi sesuatu yang mengerikan…,” ungkap Raja Sanggar.
Kengerian itu tergambar jelas dari kaldera besar yang ada di Gunung Tambora saat ini. Sebelum letusan dahsyat itu, Gunung Tambora memiliki ketinggian mencapai 4.200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Letusan yang dahsyat melenyapkan hampir setengah bagian tubuhnya.
Kini gunung yang melegenda itu hanya menyisakan ketinggian 2.751 mdpl. Kaldera besar juga tercipta akibat letusan yang membawa petaka hingga daratan Eropa ini.
Mata kami hanya dapat memandang takjub lubang kaldera yang bertebing curam di segala bagian. Tak terbayangkan penderitaan yang terjadi ketika awan panas, abu, dan batu-batuan vulkanik jatuh ke permukiman warga.
Raja Sanggar kembali mengisahkan, antara pukul 21.00 dan 22.00, abu terus jatuh, diikuti puting beliung yang menerbangkan hampir semua rumah di Sanggar. Tumbuhan raksasa tercerabut bersama akarnya, lalu terbang bersama orang, rumah, ternak, dan apa pun di muka Bumi.
Dampaknya tak hanya terasa di Pulau Sumbawa ataupun di seluruh bagian Nusantara. Pada tahun 1816, Eropa dan bagian utara dunia lainnya mengalami tahun tanpa musim panas yang mengubah dunia. Berbagai penelitian menyebutkan, tahun tanpa musim panas merupakan dampak dari letusan mahadahsyat dari Gunung Tambora.
Eropa mengalami musim dingin berkepanjangan yang berujung pada gagal panen dan kelaparan. Sejarah terbentuk dari tahun tanpa musim panas itu, mulai dari beragam penemuan, kisah horor melegenda, migrasi penduduk, hingga konon kekalahan Napoleon Bonaparte.
Kini, memandang kaldera Tambora di depan mata, napas kembali terhela dengan kepala sedikit menunduk. Sepasang mata tak cukup untuk memandangi seluruh bagian kawah yang pernah menggemparkan dunia tersebut.
“Besar banget. Bayangkan hampir 7 kilometer diameternya,” ujar Kristianto Purnomo, fotografer Kompas.com yang tergabung dalam ekspedisi tersebut.
Dengan diameter sepanjang itu, jika ditempuh oleh kendaraan bermotor dengan kecepatan 20 kilometer per jam, maka memerlukan waktu sekitar 3 menit. Sementara kedalaman dasar kaldera diperkirakan mencapai 1 kilometer. Fikria Hidayat, salah satu anggota tim ekspedisi yang pernah turun ke dasar kaldera, mengatakan perlu waktu hingga 8 jam perjalanan dengan beberapa bagian medan yang sangat curam.
Sementara di ujung sisi barat, terdapat jalur pendakian melewati Desa Pancasila. Di arah timur, masih ada lagi jalur pendakian yaitu melewati Desa Sanggar.
Asap tipis mengepul di sisi barat laut dasar kaldera. Diikuti juga dengan awan-awan yang tipis ketika berada di bibir kaldera. Selepas tahun 1815, sang Tambora berupsi kembali, tetapi dengan skala yang jauh lebih kecil.
Tercatat pada 1819, selama 1847-1913 yang membentuk kerucut Doro Afi Toi, dan terakhir kali pada 1967. Anak gunung yang baru terbentuk tak dapat terlihat dari bibir kaldera jalur Doro Ncanga. Jika dilihat dari jalur Pancasila, Doro Afi Toi dapat terlihat. Tambora tidak benar-benar mati. Ia hanya tertidur sebentar. Seakan menanti waktu untuk terbangun dan kembali menunjukkan kedahsyatannya. (bersambung)