Aku langsung berbelok masuk dan memarkirkan sepeda motorku. Seorang security berbadan tegap menghampiri dan menyapa ku. "Dari mana? Duduk situ, ngopi dulu. Biar saya buatkan, ini kopi bagus dan kualitas terbaik dari Dolok Sanggul, gratis kok," katanya ramah.
Tangannya menunjuk dua pasang bangku dan meja dari kayu Dori (Gerunggang nama ilmiahnya) yang berada di kolong rumah Bolon. Aku langsung manut saja. Sambil menunggu kopi datang, kupandangi sekeliling. Patung-patung dari kayu, ukurannya tinggi dan kecil, semuanya memakai ulos.
Di samping tangga rumah, ada gantungan dari kayu tempat berbagai ulos dijejerkan. Kulongokkan kepalaku ke lantai atas, terlihat beberapa Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dari kayu dan bambu anggun berdiri.
"Silahkan," kata Sihombing, akhirnya aku tahu namanya.
"Siapa yang punya ini, bang? Itu di dalam, ulos-ulosnya dijual kah? Aku mau nengok-nengok dan ngobrol-ngobrol sama yang punya, ada orangnya?" tanyaku.
"Sebentar, saya panggilkan," jawab Sihombing.
Baru kuseruput kopi yang disajikan, seorang laki-laki berbaju batik motif Gorga khas Batak datang dengan senyum mengembang keluar dari galeri berdinding dan pintu kaca. Dia langsung menyalamiku, menyilakan duduk kembali dan memperkenalkan diri.
Menurut Robert, ini usaha turun temurun, warisan orang tuanya yang kebetulan penenun dan pedagang ulos. "Jadi sejak kecil aku sudah akrab dengan ulos dan aku menyukai semua corak dan motifnya. Galery ini dibangun 28 Juni 1992. Inspirasi membuat pertenunan karena di 1987-an kulihat permintaan ulos tinggi tapi produksi minim. Kuajak lah sekitar 17 orang bergabung, sampai 1995 jadi 120 penenun," tutur Robert.
Namun tahun 2013 tinggal separuh penenun yang mau bertahan. Dari pagi hingga senja, 53 penenun ulos dan tujuh penenun songket bekerja. Mulai dari belasan lembar hingga akhirnya ratusan lembar ulos per hari.
Untuk songket, baru diproduksi pada 1997, rata-rata 15 lembar tiap harinya. Karena semakin berkurangnya jumlah tenaga kerja, akhirnya tinggal puluhan ulos dan songket yang dihasilkan setiap hari.
"Semua jenis ulos Sadum kami produksi. Ini ulos ragi hotang, ini ragi hidup, ini Angkola punya. Ada juga ulos Mandailing dan Sipirok. Ini songket. Kita modifikasi juga untuk mengikuti tren dan perkembangan jaman. Kayak itu, kita buat kemeja. Ada juga sarung bantal, bagus kan?" tanyanya sambil menunjukkan koleksinya yang sudah menembus hampir seluruh tanah Eropa.
Untuk Indonesia, ulos dan songket diminati hampir semua kalangan karena harganya terjangkau dan kualitasnya tidak mengecewakan. Ulos sadum harganya mulai Rp 15.000 sampai Rp 10 juta. Kalau songket, mulai Rp 400 ribuan sampai Rp 3 jutaan.
Untuk patung dan aksesoris dihargai mulai Rp 5.000 sampai Rp 28 juta. Kalau ulosnya dijadikan kemeja maka harganya mulai Rp 335 ribu sampai Rp 450 ribu. Songket lebih bahal karena sudah berbahan sutra, mulai Rp 95 ribu hingga Rp 2 jutaan.