Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Raja Ampat Tetapkan Peraturan Adat

Kompas.com - 09/12/2016, 15:24 WIB

WAISAI, KOMPAS — Dewan Adat Suku Maya, Selasa (6/12/2016), di Waisai, Raja Ampat, menetapkan peraturan adat terkait perlindungan dan pengelolaan alam laut. Peraturan itu modal pemerintah daerah dalam mengakui keberadaan masyarakat adat.

Penetapan pasal demi pasal dilakukan Ketua Dewan Adat Suku Maya Kristian Thebu bersama Kepala Bagian Hukum Pemkab Raja Ampat Muchliat Mayalibit, disaksikan Wakil Bupati Raja Ampat Manuel Piter Urbinas. Sidang diikuti sekitar 100 orang dari 40 kampung.

”Kami menetapkan peraturan adat ini untuk jalan masuk pemerintah memberikan pengakuan keberadaan masyarakat adat suku Maya di Raja Ampat,” kata Kristian. Peraturan adat akan mengawali peraturan-peraturan adat lain, seperti hutan dan tenurial suku/marga.

Dampak pengakuan masyarakat adat, di antaranya—dalam konteks penguasaan hutan—putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012 memutuskan hutan adat bukan lagi hutan negara. Proses pelepasan kawasan hutan untuk dikembalikan pengelolaannya bagi masyarakat adat itu butuh pengakuan pemda.

Kristian mengatakan, masyarakat adat mengusung isu laut sebagai jalan masuk, karena 80 persen warganya bergantung pada sumber daya alam laut. Peraturan adat itu bisa mendorong penetapan Peraturan Daerah Raja Ampat terkait pengakuan akan masyarakat adat suku Maya.

RONNY RENGKUNG Pemandangan bawah laut di Raja Ampat, Papua Barat.
Catatan Dewan Adat Maya, terdapat 21 subsuku tersebar di empat pulau besar Batanta, Mee (Misool), Batan Wage (Waigeo), dan Batan Salawat (Salawati). Sebagian kecil kelompok masyarakat Salawati masih masuk di wilayah Kabupaten Sorong.

Selain itu, wilayah laut Raja Ampat masih terancam penangkapan ikan dengan bom dan sianida, serta perburuan hiu dan pembabatan mangrove.

Perda No 27/2008 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah, Perda No 8/2010 tentang Pengelolaan Terumbu Karang, Perda No 8/2012 tentang Perlindungan Hutan Mangrove dan Hutan Pantai, serta Perda No 9/2012 tentang Larangan Penangkapan Ikan Hiu, Pari Manta, dan Jenis Ikan Tertentu di Perairan Laut Raja Ampat, belum berefek jera.

Dalam peraturan adat, masyarakat menyepakati pelaku kejahatan perikanan/kelautan disidangkan dewan adat di kampung untuk didenda ataupun sanksi sosial. Bila terindikasi pidana, pelaku diserahkan ke polisi.

”Kapal dan mesin tetap di kampung untuk jaminan bila tidak bisa membayar denda adat,” kata Kristian.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO Ketua Dewan Adat Maya Kristian Thebu, Selasa (6/12/2016), di Waisai, Raja Ampat, Papua Barat, menyerahkan peraturan adat terkait perlindungan laut di ”Surga Bawah Air” kepada Wakil Bupati Raja Ampat Manuel P Urbinas. Peraturan adat itu diserahkan kepada pemerintah untuk diakui dalam peraturan daerah.
Peraturan adat ini juga mengingatkan warga akan sanksi sosial bagi pelanggar. Awalnya sejumlah peserta keberatan, tetapi Kepala Bagian Hukum Muchliat Mayalibit menyatakan itu perlu diatur. Sebab, ada oknum masyarakat yang terlibat dalam perusakan sumber daya laut.

Wakil Bupati Manuel Urbinas akan menggelar sosialisasi dan meneruskan ke DPRD Raja Ampat. Harapannya, muncul Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Suku Maya.

Yonatan Botot (56), tokoh adat dari Kampung Salafen di Disrik Misool Utara, menyambut baik peraturan adat. Dua kampung sejak setahun lalu mendeklarasikan kawasan perlindungan laut bagi dugong dan penyu. (ICH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com