BEKASI, KOMPAS.com - Di antara deretan tenda street food di malam hari Anda bisa menemukan spanduk Soto Lamongan, Pecel Lele, hingga Seafood yang menggunakan spanduk lukis.
Spanduk itu masih eksis, di tengah himpitan spanduk print atau cetak digital yang lebih mudah ditemukan.
Tidak heran pembuatnya kini pun mulai sedikit, satu persatu menggantungkan kuas lukisnya. Bahkan tak jarang pengusaha kuliner harus memesannya langsung ke Lamongan, itupun masih harus mengantre.
Salah satu pelukis soto lamongan, Hartono menjelaskan pada KompasTravel kenapa kini mulai sulit memperoleh perajin spanduk lukis soto lamongan.
(BACA: Kisah Si Pembuat Spanduk Soto Lamongan...)
Sulitnya mencari pelukis spanduk ini tak hanya di Jabodetabek yang meramaikan soto lamongan, tetapi juga di daerah asalnya, Lamongan, Jawa Timur.
“Satu persatu mulai tumbang, karena tak bisa mengelola konsumen yang terbatas. Usaha ini memang sulit kalau nggak pakai strategi jangka panjang,” ujarnya kepada KompasTravel di rumahnya, di Bekasi, Selasa (30/5/2017).
Menurut Hartono faktor pertama langkanya pelukis spanduk soto lamongan yang ikonik ini ialah konsumennya yang hanya kalangan tertentu. Tidak semua pengusaha kuliner membutuhkannya, mayoritas mereka lebih memilih spanduk cetak digital berbahan plastik.
Konsumen yang sedikit tersebut membuat Hartono harus pintar-pintar mendekati konsumen, agar ketika dua sampai lima tahun kemudian spanduknya rusak akan kembali memesan padanya.
“Kuncinya usaha spanduk itu kualitas bukan kuantitas, karena ini berhubungan dengan konsumen, bagaimana melayani pelanggan. Sekali pelanggan kecewa, nggak akan balik lagi bertahun tahun, karena barang ini awet,” kata Hartono.
Agar tetap bisa merangkul pasar, spanduk ini harus dijual tanpa minimum order. Namun, jika dalam sebulan terkumpul 20 spanduk dengan desain yang berbeda, maka ia harus membuat cetakan/master sebayak 20 juga.
Hal ini, lanjut Hartono membuat biaya dan tenaga harus terkuras. Berbeda dengan cetak digital yang tak perlu menggunakan cetakan/master.
“Manajemen produksi ini yang mencekik kalau pelukis nggak pinter-pinter hitung-hitungan laba,” katanya.
Hal terakhir ialah masalah kebaruan atau inovasi yang kurang dari para pelukis. Hartono terus mencari inovasi tren spanduk lukis di pasaran, meski tanpa meninggalkan ciri khasnya yaitu banyaknya warna cerah dalam spanduknya.
Untuk spanduknya sendiri, Hartono menjamin awet minimal satu hingga lima tahun. "Semakin bersih merawatnya maka akan semakin awet," katanya.
Hartono menjual spanduknya dengan harga Rp 110.000 – Rp 120.000 per meter, tergantung banyaknya gambar.
Sampai sekarang pelanggannya tersebar di berbagai daerah selain di Pulau Jawa, mulai Aceh, Jambi, Makassar, Soppeng, Bali, hingga NTT dan Timor Leste.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.