Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (162): Rindu Rumah

Kompas.com - 19/03/2009, 08:00 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

 

Kehangatan keluarga-keluarga Noraseri terkadang membuat saya tersiksa. Ada kerinduan yang menggebu di dalam hati - kerinduan akan rumah, kampung halaman, ayah bunda dan keluarga.

Sudah lebih dari satu bulan saya tinggal di desa ini. Saya masih ingat betul, betapa garangnya hujan di Kashmir kala itu, diikuti gemuruh longsor yang sambung-menyambung, dan gelap gulita di setiap malam. Di bawah kelip lampu petromaks, saya menyantap nasi biryani dan kari tanpa sendok, berkenalan dengan belasan kawan baru yang nama-namanya hampir mustahil untuk diingat semua.

Tetapi sekarang, ketika gunung-gunung menjulang di seluruh penjuru itu berbalut permadani rerumputan hijau, saya merasa sudah menjadi bagian dari kampung ini. Saya mulai tahu gosip-gosip yang beredar. Penduduk desa pun selalu memanggil nama saya. Medan gunung yang berat, naik turun tebing, meloncati batu besar, sekarang sudah menjadi keseharian saya.

Dulu saya hanya tahu Pak Basyir cuma penjaga tenda, tetapi sekarang saya tahu bahwa Bu Basyir sering menangis di malam hari hanya karena merindukan saya. Ketika saya ‘turun gunung’ untuk berinternet, Afaq, Danish, Ilham, dan para pemuda desa lainnya selalu menanyakan keberadaan saya. Pak Dokter yang penuh candaan konyol ternyata menyimpan kisah sedih di sudut rumahnya. Demikian pula keluarga Pak Haji yang selalu ramai penuh canda di tengah masa berkabung. Masih banyak kisah-kisah penduduk Noraseri lainnya yang tidak mungkin saya tulis satu per satu di sini. Semuanya adalah bagian lembaran hidup saya. Tawa itu, tetes air mata itu, canda dan rabaan itu, semuanya tak akan terhapus dari kenangan.

Justru ketika saya sudah merasa punya keluarga baru di sini, saya merasa sangat kehilangan keluarga di Indonesia. Malam tadi, saya bermimpi melihat ayah bunda, makan lauk kegemaran saya, dan berjumpa kembali dengan guru sekolah, dan berjalan-jalan menikmati sejuknya pagi di Lumajang. Hanya mimpi, indah namun menyakitkan. Waktu bangun, air mata sudah meleleh. Entah apakah mereka yang jauh di sana juga sama merindukan saya?

Kawan-kawan sesama sukarelawan yang melihat keanehan saya terus menguatkan. “Jangan bersedih. Kita di sini semua adalah saudara. Kau tak pernah sendiri,” kata Syed Mahmood. “Kalau ada kesulitan, kamu cerita saja dengan kawan-kawan. Semua pasti akan membantu,” tambah Anis Sahab. Rashid, yang bahasa Inggrisnya paling fasih, kemudian bercerita tentang arti pentingnya persahabatan, berbagi tawa tetapi juga bersama membasuh air mata. Yang lain menganjurkan saya untuk ‘turun gunung’ lagi, ke Muzaffarabad, untuk kontak email atau telepon keluarga.

Akhirnya saya ‘turun gunung’ juga. Bukan ke Muzaffarabad, tetapi ke Pattika, letaknya di tepi jalan utama, dua atau tiga kilometer ke utara. Pattika adalah kota pasar. Penduduk sekitar pegunungan ini biasanya berbelanja kebutuhan sehari-hari di Pattika yang lebih praktis daripada Muzaffarabad.

Kota pasar ini sebenarnya cukup sederhana. Ada barisan beberapa toko CD, sayuran, pakaian, dan sepatu. Hampir semuanya sudah hancur kena gempa. Pedagang sepatu menggelar dagangannya di atas tumpukan batu. Pedagang sayuran di pinggir jalan, sesekali terciprat lumpur yang disemburatkan oleh mobil jip. Kios-kios tinggal kerangkanya saja, doyongnya mengkhawatirkan, seperti bakal ambruk juga kalau ditiup. Tukang jahit masih menerima layanan di rumah yang dindingnya sudah retak parah. Tukang batu masih mengorek-ngorek reruntuhan, mencari barang yang masih bisa dipakai.

Terlepas dari kehancurannya yang teramat parah, ada nafas di sini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com