Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Chiangmai dari Sisi Lain

Kompas.com - 22/01/2010, 13:05 WIB

Saya harus mengaku bersalah. Sebelum ini, bila saya ditanya tentang Chiangmai – sebuah kota di Thailand Utara – saya selalu berkomentar negatif. Sudah dua kali saya berkunjung ke Chiangmai. Dari dua kunjungan itu, kesan saya tentang Chiangmai adalah sebuah kota yang beraroma seks komersial. Baru melangkah keluar hotel saja, langsung muncul kesan seolah-olah semua layanan di kota ini mengait pada jasa layanan seks. Tetapi, sejak kunjungan saya yang terakhir, pandangan saya tentang Chiangmai berubah total.

Rupanya, pilihan hotel ketika kita berkunjung ke satu tujuan wisata akan memberi kesan berbeda. Contohnya, bila Anda ke Bali. Akan sangat beda sekali kesan yang muncul bila Anda menginap di Kuta, atau Sanur, atau Nusa Dua, atau Ubud, atau Candidasa.

Bila Anda jenis orang yang tertib, dan “ditempatkan” di sebuah hotel kecil di Kuta, Bali, kesan yang mungkin timbul adalah:”Duh, ancur banget tempat ini. Bahkan mau makan di restoran saja banyak tamu yang tidak pakai baju.” Maklum, di Kuta pemuda-pemuda Australia yang banyak berlibur di sana adalah jenis wisatawan ransel yang berpakaian bebas sesuka mereka.

Anda baru akan melihat Bali dari sisi lain bila, misalnya, tinggal di daerah Ubud. “Wah, asri banget tempatnya. Cultural pula. Ini baru Bali!”

Pusat kota

Kesalahan persepsi saya tentang Chiangmai dari dua kunjungan terdahulu juga semata-mata karena pilihan hotel yang kurang tepat. Dulu, saya selalu memilih hotel yang letaknya di pusat keramaian kota. Chiangmai adalah kota nomor dua terbesar di Thailand, tetapi jauh lebih kecil daripada Bangkok. Saya pilih pusat kota sesuai dengan kesukaan saya berjalan kaki.

Di pusat kota, begitu melangkah keluar dari pintu hotel, sudah ada beberapa laki-laki yang menawarkan berbagai jasa – termasuk seks komersial. Berjalan di lebuh-lebuh jalan kecil di daerah pusat kota, aroma seks komersial pun sangat kental. Mulai dari kamuflase tempat pijat, sampai bar dan kafe yang ditongkrongi beberapa perempuan seronok.

Di malam hari, suasana penjajaan seks komersial semakin seru. Di pusat kota, ada sebuah lorong yang bila kita masuki ternyata di dalamnya ada semacam plaza yang ramai. Di tengah plaza ada arena muay thai (tinju Thai) bayaran. Di sekelilingnya adalah rumah makan, kafe, dan bar dengan isi para perempuan cantik.

Jangan salah, di antara yang cantik-cantik itu ternyata banyak kaum lady boys – yaitu para transvestites, kaum pria yang mengubah tampilan fisiknya menjadi seperti perempuan. Chiangmai, boleh dibilang, adalah ibukota kaum transvestites sedunia. Tidak sedikit yang kecantikan dan bentuk tubuhnya membuat kaum perempuan sendiri iri berat.

Demi “keamanan” konsumen, ternyata praktik mesum ini juga punya etika. Misalnya, ada kafe dan bar yang khusus menampilkan lady boys – tidak boleh bercampur dengan perempuan asli – agar konsumen tidak terkecoh. Bahasa mereka pun dibedakan. Bahasa Thai mengenal maskulin dan feminin. Bila diucapkan oleh perempuan, “terima kasih” harus diucapkan sebagai “kop khun ka”. Kaum laki-laki mengatakan “kop khun krap”. Tetapi, kaum lady boys wajib mengatakan “kop khun ha”.

Kunjungan terakhir

Pada kunjungan terakhir ke Chiangmai, saya menginap di Rarijinda, sebuah butik hotel yang terletak di pinggir Sungai Ping. Hotelnya adalah bangunan rumah lama yang dipugar, sehingga menciptakan suasana klasik yang menawan. Begitu memasukinya, langsung terasa bahwa hotel ini punya kelas yang berbeda dari hotel-hotel yang di tengah kota.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com