Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ballarat: Kota Kelahiran Demokrasi di Australia

Kompas.com - 17/01/2014, 15:35 WIB
Pengantar Redaksi:
Selama 12 hari pada awal Januari ini koresponden "Kompas" di Australia, Harry Bhaskara, melakukan perjalanan menyusuri pantai timur Australia dari Brisbane di utara hingga ke Adelaide di selatan dengan jarak tempuh 3.600 kilometer, termasuk mengunjungi sejumlah obyek wisata. Berikut catatan perjalanannya.

SALAH satu kota yang sempat dikunjungi adalah Ballarat di Negara Bagian Victoria. Kota ini dulunya adalah kota pertambangan yang menyebabkan orang berdatangan dari berbagai negeri. Kota ini juga diyakini sebagai kota lahirnya demokrasi di Australia.

Sulit mencari persamaan antara Indonesia dan Australia karena perbedaan tajam di hampir semua lini di kedua negara ini. Menyamakan Peter Lalor dengan Soekarno jelas agak dipaksakan. Yang satu pemimpin ribuan kaum petambang di Ballarat, dekat Melbourne, yang lain pemimpin jutaan rakyat Indonesia menuju kemerdekaan.

Persamaannya hanya bahwa keduanya pernah menyandang atribut pengacau keamanan. Bila rakyat Indonesia menggerek bendera merah putih, petambang Ballarat menggerek bendera Southern Cross. Bendera raksasa berwarna biru dengan salib putih ini masih dapat dilihat di museum demokrasi di Ballarat.

Ribuan nyawa melayang dalam memperjuangkan kemerdekaan, 30 petambang tewas ketika tentara pemerintah koloni Inggris menyerang mereka di Eureka Stockade, sebuah kelurahan di Ballarat, tahun 1854.

Petambang yang terdiri dari orang Eropa, China, dan Aborigin ini ditundukkan dalam pertempuran, tetapi berhasil memperjuangkan hak-hak mereka. Pemerintah setempat menghapus keharusan petambang memiliki surat izin menambang, salah satu kesewenang-wenangan pemerintah kolonial.

Perjuangan mereka untuk menegakkan keadilan dan kemerdekaan mengemukakan pendapat merupakan modal dasar ketika Australia terbentuk tahun 1901. Pemimpin para petambang, termasuk Lalor, menjadi anggota parlemen yang pada waktu itu berkedudukan di Melbourne.

Museum demokrasi di Ballarat (MADE) mencatat bahwa setelah Australia terbentuk tahun 1901, buku-buku sejarah cenderung melupakan partisipasi orang China dan Aborigin dalam pemberontakan di Ballarat yang menjadi cikal bakal demokrasi di Australia. Bahkan, kekhawatiran Australia akan membanjirnya orang China menjadi cikal bakal Kebijakan Putih (White Policy) Australia yang baru berakhir tahun 1975. Padahal, sebagian besar orang China telah kembali ke negerinya pasca-perburuan emas di Ballarat.

Tahun 1850 sampai 1890, sebanyak 63.000 orang China datang ke Victoria, 48.000 orang pulang, dan sekitar 7.000 tinggal, sisanya pergi ke tempat lain. ”Sejarah Australia dimulai di Ballarat, cikal bakal negeri ini berasal dari daerah ini,” kata Tracy Miao yang sudah 13 tahun tinggal di Ballarat.

”Ketika saya pindah dari Melbourne kemari, saya tidak menyadari bahwa kota ini begitu penting dalam sejarah Australia. Banyak hal dimulai di sini,” katanya. ”Saya hanya jenuh tinggal di kota besar dan ingin tinggal di kota kecil,” ucapnya tentang kota yang dapat dijangkau sekitar satu jam dengan mobil dari Melbourne atau 1,5 jam dengan kereta.

Kota dengan jumlah penduduk 85.000 jiwa ini memenuhi hasratnya. ”Di sini ke mana-mana dekat dan fasilitas umum seperti kesehatan dan pendidikan sangat baik,” katanya.
Museum Sovereign Hill

Salah satu obyek yang bisa dikunjungi saat di Ballarat, kota kecil sekitar 100 km di barat laut Melbourne, adalah Hill. Di museum ruang terbuka ini, kehidupan di Ballarat tahun 1850-an disontek habis di atas tanah seluas 25 hektar.

Dengan karcis masuk 50 dollar setara Rp 500.000, pengunjung bisa berjumpa dengan penduduk Ballarat berpakaian abad ke-19 itu di jalan-jalan di ”kota” itu. Pengunjung bisa masuk ke toko-toko, kantor pos, dan toko roti zaman itu. Harga-harga yang tertera di papan pajangan masih dalam poundsterling, mengingat Australia kala itu masih koloni kerajaan Inggris.

Jalanan di sini tak beraspal sehingga kereta berkuda yang lewat meninggalkan debu yang membubung tinggi. Dan juga kotoran kuda.

Pengunjung juga bisa menapis emas dari parit kecil yang disediakan khusus bagi mereka yang ingin merasakan bagaimana orang dahulu mencari emas. Bahkan, museum ini sengaja menebar butir-butir emas dengan nilai keseluruhan setengah miliar rupiah di parit itu sehingga para pengunjung yang beruntung bisa merasakan bagaimana kegembiraan orang bila menemukan emas. Tak heran ada pengunjung yang tekun menapis emas dari pagi hingga sore hari.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com