Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kain, Simbol Kehidupan Nusantara

Kompas.com - 26/06/2014, 12:52 WIB
JAKARTA, KOMPAS — Seni tenun merupakan salah satu bentuk kesenian yang berhubungan dengan ritual kehidupan masyarakat Indonesia. Sehelai kain tidak hanya memenuhi kebutuhan sandang, tetapi juga menunjukkan kedudukan si pemakai serta peristiwa kehidupan yang dilalui.

Pemikiran itu menjadi salah satu faktor didirikannya Museum Tekstil Indonesia yang kini berusia 38 tahun. Museum itu menyimpan 2.500 kain adat dari 34 provinsi di Indonesia. Museum itu juga dilengkapi laboratorium untuk merawat kain kuno berusia ratusan tahun. ”Gubernur Ali Sadikin, saat berkeliling ke Eropa, melihat banyak kain Nusantara yang dipamerkan di museum. Dia kaget, kenapa Indonesia justru tidak punya semacam itu,” ujar Sri Sintasari (Neneng) Iskandar, penulis buku pertekstilan.

Untuk peringatan ulang tahun museum itu, pengelola museum dan Himpunan Wastraprema— kelompok pencinta tenun, batik, dan kain adat tradisional Indonesia—memilih tema ”Puspawarna Wastra Bali”. Sebanyak 210 ragam tekstil dari Bali ditampilkan. Tekstil itu koleksi dari Astari Rasjid, Bulantrisna Djelantik, Nanis Hakim, Nian S Djoemena, Tjokorda Istri Vera Partini Sukawati, Yo Seda, Museum Provinsi Bali, dan Museum Tekstil Jakarta.

Upacara adat

Kedudukan kain tenun (wastra) Bali berbeda-beda, bergantung pada jenisnya. Secara umum, wastra dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu wastra bertuah, wastra kebesaran, dan wastra penghias. Wastra dianggap mempunyai tuah atau daya gaib yang dipercaya sebagai pelindung, penolak bala, dan menyembuhkan penyakit. Kain yang termasuk dalam jenis bertuah ialah gerising, cepuk, dan bebali.

Wastra kebesaran mengesankan kemegahan dan kemewahan karena ragam hias yang digunakan. Wastra kebesaran dipakai keluarga raja dan bangsawan. Kain yang termasuk dalam jenis ini ialah songket, prada, dan endek. Sementara wastra penghias digunakan sebagai hiasan bangunan suci, patung, dan seni pertunjukan. Kain yang masuk jenis ini ialah lamak, ider-ider, langah, tirtanadi, dan pelangi.

Neneng Iskandar menunjukkan kain geringsing dari daerah Tenganan, Bali, dibuat selama delapan tahun. Pembuatan kain itu dimulai dari menanam pohon kapas. Kapas kemudian dipintal menjadi benang pakan dan benang lungsi. Kedua benang itu diikat dan dicelup secara terpisah sebelum ditenun. Pewarnaan kain menggunakan pewarna alami nila dan indigo untuk menciptakan warna biru dan akar mengkudu untuk warna merah.

Kedua benang itu ditenun dengan alat tenun cagcag. Hasilnya, berupa kain berbentuk lingkaran, yang menyisakan benang lungsi yang menjadi rumbai setelah dipotong. Teknik itu membutuhkan keterampilan tingkat tinggi. Kain itu digunakan dalam upacara adat potong gigi, haid pertama pada perempuan, upacara perkawinan, dan ngaben.

”Teknik tenun ikat ini satu-satunya yang masih dipakai di Bali, tetapi tidak ada di wilayah lain di Indonesia. Itu karena dibuat dengan teknik ikat ganda yang sulit. Kreativitas tekstil di Indonesia sangat menonjol,” ujar Johanna Maria Pattinaya Seda, istri mantan Menteri Keuangan awal Orde Baru, Frans Seda.

Wakil Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta Tinia Budiati mengatakan, batik dan tenun mencerminkan jati diri bangsa. Dia mendorong museum mengumpulkan lebih banyak kekayaan wastra Indonesia. ”Selama ini kami masih bergantung pada donatur. Seharusnya dari sekian puluh provinsi itu, kita bisa memiliki lebih dari 25.000 koleksi,” Tinia.

Ketua Himpunan Wastraprema Nanuk Sri Humiyarsih Gastel menambahkan, ingin generasi muda lebih menghargai wastra dan mengapresiasi karya bangsa. Untuk menarik minat pengunjung ke museum, Wastraprema juga mengadakan berbagai acara, seperti diskusi dan pameran. (A13)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com