Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kembul Bujana, Tradisi Makan Bersama di Kulon Progo

Mereka masing-masing berkerumun untuk menyantap nasi tumpang, sayur mayur, dan ingkung ayam utuh. Tidak sedikit di antara mereka juga sambil membawa sendiri nasi, sayur, dan lauk, yang juga disantap bersama.

Mereka menggunakan tatakan seadanya, seperti daun pisang ataulah kertas sebagai alas untuk makanan santap. Tampak beberapa warga juga membawa piring plastik hingga sendok plastik.

Warga menamai makan bersama ini sebagai Kembul Bujana sebagai bagian dari tradisi peringatan hadeging atau hari ulang tahun desa mereka.

Semua dusun, terdiri 26 pedukuhan, terlibat dalam Kembul Bujana ini. Antusiasme mereka ditunjukkan lewat persembahan nasi tumpeng yang nantinya dimakan secara beramai-ramai.

“Bisa ada 50-an nasi tumpeng baik dari 26 pedukuhan maupun lembaga-lembaga yang ada di tingkat desa, seperti PKK hingga karang taruna,” kata Warudi, Kepala Desa Banjararum.

Sebelum tradisi makan bersama ini digelar, mereka mengarak semua tumpeng dalam sebuah kirab atau barisan bregada (pasukan kraton bersenjata tombak). Semua orang yang terlibat di dalamnya mengenakan pakaian tradisional Jawa.

Para pria bersurjan (baju), jarit (lilitan kain untuk bawahan), dan kaki yang dibungkus sandal slop. Pinggang mereka juga terselib keris. Sedangkan para wanita berdandan cantik dalam balutan kebaya.

“Tumpeng mereka merupakan simbol masing-masing (dusun) dan ada tumpeng besar ikut diarak sebagai simbol persatuan desa,” kata Sunaryo.

Semua berawal dari sebuah Maklumat Pemerintah Provinsi Yogyakarta di masa silam agar 5 kelurahan, yakni Dekso, Ngipikrejo, Kedondong, Semaken, dan Degan menjadi satu desa dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri secara otonom untuk mewujudkan kemajuan desa. Banjararum pun terbentuk pada 17 April 1947.

Warga datang dari berbagai dusun di tiap peringatan 17 April. Diawali dengan kirab bregada, diikuti warga yang membawa nasi tumpeng dan mempertontonkan hasil bumi.

Dalam upacara itu, berlangsung pembacaan maklumat bersatunya 5 kelurahan dilanjutkan dengan ikrar bersama atas bersatunya desa.

Dalam perkembangannya, Banjararum tumbuh cepat. Penduduknya kini lebih dari 3.000 kepala keluarga atau lebih dari 10.700 jiwa yang tersebar dalam 26 dusun. Mayoritas petani padi dan palawija, sebagian lagi bekerja di sektor jasa, dan sedikit PNS. Warga desa di sini hidup rukun.

Tiap ada perkembangan baru di desa, mereka akan menunjukkannya di hadeging. Sunaryo mencontohkan salah satu rangkaian peringatan HUT desa adalah festival penjor atau kesenian janur yang dinaikkan seperti umbul-umbul.

Perajin penjor dari seluruh dusun tampil di sana. Itulah mengapa, di HUT ini pemerintah desa juga memperkenalkan karya warga membuat penjor.

“Banyak perajin penjor di berbagai tempat. Mereka mengatakan, bahan bakunya diambil dari sini (Banjararum). Mulailah kita mengembangkannya,” kata Sunaryo.

Meski demikian, mereka juga mengakui masih banyak potensi desa yang masih bisa dikembangkan. Salah satunya adalah potensi wisata yang ada tetapi belum digarap.

Banjararum terletak di jalur alternatif Purworejo, Wates, Magelang. Desa ini juga berada sekitar 20 kilometer dari Jalan Raya Magelang-Yogyakarta atau 20 Km dari Ring Road Barat yang berada di Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

https://travel.kompas.com/read/2018/04/18/131600227/kembul-bujana-tradisi-makan-bersama-di-kulon-progo

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke