Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tradisi Lebaran Masa Lampau, Mari Bernostalgia ke Tahun 1920-an...

Beda daerah, beda tradisi. Demikian pula cerita yang ditinggalkan, selalu jadi kenangan.

Seperti apa tradisi Lebaran pada masa lalu? Mari bernostalgia!

Lebaran pada 1920-an...

Kisah Lebaran tahun 1920-an diceritakan seorang wanita, seperti dimuat Harian Kompas, 27 Agustus 1979..

Pada 1979, wanita ini berusia 60 tahun. Ia mengenang berbagai kisah Lebaran masa kecilnya.  

Kala itu, suasana Lebaran sudah terasa bahkan pada minggu pertama puasa.

Biasanya, rumah-rumah akan dicat atau dikapur untuk memeriahkan suasana Hari Raya.

Lantai sudah ditutupi tikar dan permadani untuk menyambut tamu yang datang bersilaturahim.

Perabot juga akan dikeluarkan untuk memberi ruang ekstra. Hanya beberapa kursi yang disediakan, khusus untuk tamu-tamu Belanda.

Ketika tamu mulai datang, tuan rumah akan segera mengeluarkan tempat sirih yang terbuat emas dan perak.

Menyirih merupakan kebiasaan wanita pada zaman dulu. Sirih biasanya ditempatkan di bagian yang biasa diduduki kaum wanita.

Sepuluh hari jelang Lebaran, biasanya orang-orang sudah mulai membuat kue-kue kering dan spekoek atau lapis legit sebagai hidangan saat Idul Fitri.

Selain spekoek, ada kue keju, nastar (ananastaart) serta gateau africain (kue berwarna coklat) yang jadi primadona.

Masuk lewat pintu belakang

Masih kisah wanita yang sama, pada tahun 1920-an itu, ada kebiasaan unik saat Lebaran. Para tamu biasanya masuk melalui pintu belakang.

Cara ini dianggap menunjukkan penghormatan dan usaha seorang tamu untuk menghargai tuan rumah.

Meski masuk dari belakang, namun tamu yang datang sudah meninggalkan alas kakinya di depan rumah.

Sementara, pintu depan hanya diperuntukkan bagi tamu yang memiliki kedudukan tinggi.

Orang-orang yang bertamu biasanya hanya berkunjung sebentar, lalu langsung pergi.

Tidak mengenal baju Lebaran

Pada masa itu, tidak ada tradisi membeli atau membuat baju Lebaran. Jika perayaan Lebaran identik dengan baju baru untuk anak-anak, lain halnya pada zaman itu.

Anak-anak tidak memikirkan pakaian baru.

Sebaliknya, memberikan pakaian baru kepada orangtua merupakan hal yang lazim dilakukan.

Cara ini merupakan bentuk penghormatan anak kepada orangtua.

Lazimnya, hadiah yang diberikan berupa pakaian. Jika hadiah yang diberikan menyalahi kebiasaan, maka hal itu akan menjadi gunjingan dan pembicaraan di kalangan keluarga.

Bagaimana dengan parsel? Orang-orang pada masa itu tidak mengenal tradisi saling berkirim bingkisan atau parsel.

Masyarakat biasanya mengirimkan hantaran berupa makanan buatan sendiri, beberapa hari menjelang Lebaran.

Selanjutnya, tradisi Lebaran di berbagai daerah...

Tradisi menerbangkan balon kertas ke udara saat perayaan Lebaran dulu berlangsung lama di Purbalingga.

Perbedaannya, pada bahan yang digunakan untuk membuat balon.

Harian Kompas, 13 Februari 1971, memberitakan, balon-balon tersebut dibuat dari kertas minyak.

Tingginya mencapai lima meter dengan diameter satu hingga dua meter. Dengan ukuran yang relatif besar, balon akan dipikul secara gotong royong oleh masyarakat ke tempat pelepasan.

Uniknya, balon ini tidak dipompa seperti balon udara pada umumnya. Masyarakat akan memasukkan asap melalui cerobong. Jika sudah penuh dengan asap, balon akan langsung naik ke atas.

Untuk menciptakan suasana yang lebih meriah, balon-balon tersebut akan diberi ekor yang dilengkapi dengan petasan dan parasut.

Nantinya, petasan dan parasut ini akan berjatuhan setelah balon mengudara. Tradisi unik ini biasanya dilakukan di kampung-kampung.

Kini, tradisi menerbangkan balon di Purbalingga dilarang oleh pemerintah karena dianggap membahayakan penerbangan.

Menyalakan lampu batok di Mandailing

Menjelang Hari Raya, masyarakat Mandailing di Tapanuli Selatan memiliki tradisi khusus.

Seperti diberitakan Harian Kompas, 6 November 1972, masyarakat Mandailing akan memasang lampu di halaman rumah pada malam ke-27 Ramadhan.

Lampu yang dipasang bukan lampu biasa seperti lazimnya lampu pada masa itu.

Lampu khusus itu dibuat dari batok kepala yang dilubangi bagian tengahnya dan hanya ada menjelang Lebaran.

Batok ini kemudian disusun dan ditempel pada kayu basah dengan tinggi satu setengah hingga dua meter, yang ditancapkan di tanah.

Batok kelapa kemudian diisi dengan arang dan akan menjadi penerangan bagi rumah-rumah di Mandailing.

Menjelang matahari terbenam, barulah lampu batok ini dinyalakan.

Satu rumah biasanya menyalakan dua buah lampu. Tak jarang, lampu ini dilengkapi dengan lampu variasi yang dibuat dari seruas bambu yang kemudian diberi lubang sebagai sumbunya.

Anak-anak akan berkeliling memeriahkan malam. Di setiap lampu yang nyala apinya tidak berkobar, anak-anak akan berhenti dan mengorek arang agar nyala api semakin besar.

Perayaan Tujuh Syawal di Mamala

Masyarakat Mamala, Ambon, memiliki tradisi unik yang cukup ekstrim.

Perayaan Tujuh Syawal merupakan ajang pertempuran bersenjatakan lidi enau.

Seperti diberitakan Harian Kompas, 4 Januari 1972, perayaan Tujuh Syawal ini telah berjalan selama berabad-abad, dan masih berlangsung hingga saat ini.

Perayaan ini biasanya dilakukan oleh para pemuda.

Mereka berdiri berhadap-hadapan dengan memegang sebatang lidi enau di masing-masing tangannya.

Lidi di tangan kiri digunakan sebagai perisai sekaligus cadangan senjata. Sementara, tangan kanan memegang lidi lain yang digunakan untuk menyerang lawan.

Perang dilakukan silih berganti dan dilaksanakan mulai waktu Asar dan berakhir saat Magrib.

Tradisi yang juga disebut dengan Pukul Sapu ini dilakukan untuk menguji khasiat minyak Mamala.

Perayaan ini merupakan peringatan tentang apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang masyarakat Mamala, tiga orang tokoh Islam yang bernama Latului, Imam Tuni, dan Patembesi.

Konon, dalam perjalanan, ketiga orang itu memutuskan untuk mendirikan masjid.

Ketika pembangunan sedang berlangsung, seorang dari mereka terjatuh sehingga pembangunan masjid pun terhambat.

Malam harinya, Imam Tuni bermimpi tentang minyak yang berkhasiat menyembuhkan luka. Paginya, ia mencoba khasiat minyak tersebut.

Untuk menguji khasiat minyak Mamala, Imam Tuni kemudian mulai memukul tubuh dengan lidi hingga babak belur.

Ketika minyak tersebut dioles ke tubuh yang terluka, ajaibnya luka tersebut langsung sembuh seketika.

Sejak saat itulah kegiatan ini menjadi tradisi masyarakat. Hanya saja, belum diperoleh keterangan pasti mengapa acara tersebut dilaksanakan pada Tujuh Syawal.

https://travel.kompas.com/read/2018/06/08/114613327/tradisi-lebaran-masa-lampau-mari-bernostalgia-ke-tahun-1920-an

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke