Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tanggapan Asosiasi Soal Wacana Libur Panjang Ditiadakan

Menurut dia, hal itu tidak jadi solusi terkait masalah pandemi Covid-19 dan juga ekonomi yang dialami sebagian besar masyarakat Indonesia.

“Pasti keberatan lah (peniadaan libur panjang). Kecuali kalau mereka bisa memberikan solusi,” kata Maulana ketika dihubungi Kompas.com, Rabu (18/11/2020).

Sebelumnya, epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono menyebut peningkatan kasus Covid-19 yang terjadi beberapa hari terakhir merupakan akibat dari adanya libur panjang dan cuti bersama pada akhir Oktober silam.

Ketika dikonfirmasi oleh Kompas.com pada Senin (16/11/2020), Pandu mengatakan solusinya adalah meniadakan libur panjang di akhir tahun nanti.

Senada dengan Pandu, Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo juga akan memberikan masukan untuk memperpendek waktu libur atau meniadakan libur panjang sama sekali di akhir tahun jika jumlah kasus positif selama beberapa waktu ke depan tetap tinggi.

Jangan hanya kritik, beri solusi

Menurut Maulana, usulan ini memang tidak salah. Pasalnya jika menimbang kondisi ideal untuk pengendalian pandemi, kebijakan diam di rumah termasuk tidak adanya mobilisasi masyarakat lewat libur panjang jadi cara paling ideal.

Namun hal tersebut bisa dibilang sangat merugikan khususnya pihak para pelaku usaha di bidang pariwisata.

Maulana memaparkan bahwa mobilisasi masyarakat yang berlibur selama libur panjang akhir Oktober silam cukup memberikan sedikit nafas segar untuk para pelaku usaha.

“Dampaknya kecil, tapi lumayan yang sedikit itu untuk membantu memperpanjang dan bertahan. Paling tidak bisa memberi makan para pekerjanya,” tutur Maulana.

Menurutnya, baik pihak-pihak yang berkomentar maupun pemerintah yang bertugas memberi kebijakan dan mengawasi harus bisa memberikan solusi yang bisa menahan laju persebaran virus sekaligus memberi kesempatan para pelaku usaha untuk bisa bertahan hidup.

Selain itu, Maulana juga merasa bahwa sektor pariwisata sudah cukup menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

PHRI bahkan sudah menerbitkan buku panduan penerapan protokol kesehatan untuk hotel dan restoran agar sesuai standard dan bisa memperkecil kemungkinan terjadinya penularan virus.

Satu hal yang paling dibutuhkan, kata dia, adalah ketegasan pemerintah dalam implementasi kebijakan. Ia sempat menyebut banyaknya pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan masyarakat umum tapi tidak diberi sanksi yang tegas.

“Kemarin juga kami sempat mengatakan untuk cabut saja PSBB-nya. Kenapa kita melakukan itu? Karena kita melihat ada ketidakseimbangan atau inkonsistensi dari pemerintah manakala masyarakat melakukan kegiatan dengan pelaku usaha melakukan kegiatan,” jelas dia.

Menurutnya, pelaku usaha sangat mudah dikontrol dalam penerapan protokol kesehatannya. Selain itu, konsumen pun bisa dibilang sangat sensitif terhadap protokol kesehatan. Sehingga jika penerapannya tidak sesuai, konsumen tidak akan datang.

“Namun ternyata perlakuan itu terjadi diskriminatif antara masyarakat dan pelaku usaha. Begitu terjadi angka kenaikan, yang divonis itu pelaku usaha untuk membatasi kegiatannya lagi,” ungkap Maulana.

Ia memberi contoh adanya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) jilid dua yang memberi dampak signifikan pada hotel dan restoran. Padahal, kata Maulana, restoran dan hotel punya protokol kesehatan yang benar-benar dikontrol dan diawasi.

“Jadi jangan kita berdebat hanya di satu kacamata saja. Karena enggak mungkin pelaku usaha, masyarakat, semua ingin sehat kok. Tapi begitu dihadapkan mereka enggak makan, gimana mereka mau sehat kalau enggak bisa makan,” pungkasnya.

https://travel.kompas.com/read/2020/11/19/121800127/tanggapan-asosiasi-soal-wacana-libur-panjang-ditiadakan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke