JAKARTA, KOMPAS.com - Kwitang merupakan salah satu kawasan bersejarah di Jakarta yang menarik untuk dijelajahi.
Beberapa tempat juga masih mempertahankan konsep lamanya, membuat pengunjung merasa seperti kembali ke masa lalu.
Sabtu (22/1/2022), Kompas.com berkesempatan mengikuti walking tour di kawasan bersejarah Kwitang, Jakarta Pusat, yang diadakan oleh Jakarta Good Guide.
Selama 1,5 jam peserta diajak berjalan kaki, menyusuri sejumlah tempat ikonik yang menjadi saksi peristiwa masa lalu kota Jakarta. Berikut sudut-sudut yang kami jelajahi di kawasan Kwitang.
Tak jauh dari kawasan Kwitang terletak Patung Tugu Tani, yang sebenarnya memiliki nama asli Patung Pahlawan.
Patung tersebut diberi nama Tugu Tani lantaran patung menyerupai sosok pria bercaping, seperti petani.
Di dinding monumen tersemat sebuah pesan dari Bung Karno yang berbunyi "Hanya bangsa yang menghargai pahlawan-pahlawannya dapat menjadi bangsa yang besar".
Kala itu, Bung Karno sedang melakukan perjalanan ke Uni Soviet. Kemudian, ia melihat ada banyak sekali monumen yang berkaitan dengan revolusi di Kota Moskow.
Sepulangnya dari Uni Soviet, Bung Karno tertarik ingin membuat beberapa patung untuk menghias kota Jakarta.
Bung Karno pun bertemu dengan pematung Rusia yang terkenal, bernama Matvey Manizer dan Ossip Manizer dan memintanya membuat patung tersebut.
Konon Patung Tugu Tani terinspirasi dari kisah seorang ibu yang membekali anaknya dengan nasi, saat sang anak akan berjuang di medan perang.
Jika ingin mengabadikan foto di depan patung, kamu harus berhati-hati menyeberang.
Sebab, posisi Patung Tugu Tani berada tepat di persimpangan jalan arah Cikini, Medan Merdeka, dan Senen.
Saat melintasi jembatan ini, kita mungkin tak menyadari ada cerita menarik di bersejarah di baliknya.
Jembatan Prapatan-Sungai Ciliwung, Kwitang Jakarta Pusat disebut sebagai saksi peristiwa pembunuhan wanita cantik bernama Nyai Dasima.
Di jembatan inilah, Nyai Dasima, mantan istri seorang Inggris, konon dibunuh oleh Bang Puase, yang diduga suruhan istri Samiun, suami Nyai Dasima.
Meski sudah beristri, Samiun tetap mendekati Nyai Dasima, yang pada saat itu juga merupakan istri dari Toean Edward.
Hingga akhirnya Dasima pun jatuh pada pesona Samiun, yang merupakan seorang pembawa delman. Lalu ia dan Samiun pun kabur meninggalkan rumah suaminya, Edward.
Terdapat beberapa versi dari cerita terbunuhnya Nyai Dasima.
Ada yang mengatakan Dasima dibunuh oleh suruhan istri Samiun. Namun, ada pula versi yang mengatakan bahwa Samiun sendiri yang menghabisi nyawa Dasima, kemudian membuang mayatnya dari jembatan ini ke Sungai Ciliwung.
Persis setelah jembatan, ada sebuah gapura bertuliskan "Selamat Datang di Kelurahan Kwitang".
Kala itu, hidup seorang warga Tionghoa bernama Kwee Tang Kiam yang berprofesi sebagai penjual obat tradisional nan masyur.
Kwee Tang sangat pandai berdagang dan puny tanah yang sangat luas di daerah ini.
Saking terkenalnya, masyarakat Betawi pada saat itu menyebut kampung ini Kwitang.
Tak hanya pandai berjualan, kemahiran seni beladiri Kwee Tang pun diakui masyarakat pada saat itu.
Perpaduan silat Betawi dengan seni beladiri kuntao milik Kwee Tang menyebabkan kampung ini dikenal sebagai rumahnya para jagoan pencak silat Tanah Air.
Sayang sekali, era kejayaan Kwee Tang perlahan merosot karena ulah sang putera yang hobi berjudi, membuat sedikit demi sedikit tanahnya pun terjual kepada orang-orang Arab yang berada di kampung tersebut.
Lalu, dibangun Masjid Kwitang oleh kelompok orang Arab.
Nah, di lokasi ini lah Majelis Taklim tertua se-Jakarta, yang dikenal dengan Majelis Taklim Kwitang, didirikan oleh Habib Kwitang alias Habib Ali Alhabsyi sekitar satu abad silam.
Mungkin kini Sungai Ciliwung seolah kehilangan pamornya, namun di masa lampau, masyarakat sekitar banyak yang menggantungkan aktivitas sehari-hari di sungai yang dulunya berair jernih ini.
https://travel.kompas.com/read/2022/01/26/142500627/menjelajahi-kwitang-saksi-masa-lalu-kota-jakarta