Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (55)

Kompas.com - 21/05/2008, 07:43 WIB

            "Ini adalah mimpiku sejak dulu, menciptakan karya seni agung semasa hidupku," katanya.

Tiap olesan kuas menyiratkan perasaan hatinya. Segaris demi segaris, kamar ini kelak akan menjadi peninggalan sejarah. Mengiringi tiap guratan, Shokir menyalakan sebuah tape recorder yang tak henti melantunkan doa-doa dalam bahasa Arab. Tak kurang dari satu tahun yang dibutuhkan Shokir untuk mengecat dinding kamarnya ini.

Kebudayaan Persia berkutat pada detail, disebut miniatur. Setiap coretan kuas punya arti sendiri. Dan kuasnya tidak pernah besar, setitik demi setitik dioleskan dengan penuh perasaan. Kamar ini dihias dengan dekorasi yang dibuat dengan sungguh teliti. Bunga, bintang, bulan, sulur-suluran, dedaunan, mozaik, semuanya terbentuk dari olesan kuas berujung lancipnya. Warna-warna berharmoni indah, berimprovisasi dan menari-nari. Biru langit bersilang dengan bintang merah muda dan hijau, bertabur di atas hitam yang kelam. Bunga-bunga putih, merah, dan jingga, merayap manis di atas sulur  hijau tua. Setiap lekuk, setiap guratan, adalah curahan hati Shokir. Setiap coretan adalah ibadah, adalah do'a yang tulus dari seorang manusia jelata.

Di bagian atas, kaligrafi Persia indah mengular rapi. Saya membaca perlahan-lahan:

            Ya Rab sababi saaz ke yaram salomat,
            Baz-ayad va berahandam az bande malomat.

            Artinya kira-kira begini:

            Ya Rabi, berikan keselamatan bagi kekasih hatiku,
            Dan dari kungkungan penjara dunia bebaskanlah diriku.

Bukan sebarang syair. Ini adalah do-baiti, puisi dua bait pujangga besar Persia, Hafez Shirazi, yang menggugah hati. Hafez, seorang sufi Persia dari abad ke-14, terkenal akan bait-bait ghazal yang meleburkan cinta, anggur, dan kemukjizatan. Dikisahkan, Amir Temur, sang raja kejam dari Samarkand dan penguasa Bukhara, sangat menyayangi Hafez sang pujangga karena keindahan dan kecerdasan kata-katanya.

Puisi, adalah bagian tak terpisahkan dalam budaya Persia. Ungkapan perasaan melantun melalui cantiknya kata-kata dan lentingan sajak. Ada daya sihir yang luar biasa yang membius nurani. Bahasa Persia memang indah. Tak heran bahasa ini menjadi bahasa orang terpelajar di penjuru Asia, dari Istanbul, Esfahan, Shiraz, Bukhara, Samarkand, bahkan sampai ke Lahore dan Delhi. Pujangga-pujangga kenamaan lebih suka menggubah dalam bahasa Persia daripada bahasanya sendiri. Siapa yang tak kenal dengan rubayyat Omar Khayam? Siapa yang tak kagum dengan larik-larik Sa'di dan Ferdausi? Bahkan Muhammad Iqbal, sang pujangga Pakistan, lebih suka menulis dalam bahasa Persia daripada Urdu. Di zaman kejayaan Bukhara, tak ada yang berdebat tentang kesusastraan Uzbek atau Kazakh. Yang ada hanyalah kemilau kesusastraan Persia, dan cuma Persia.

Orang Tajik, yang sejarahnya berakar pada kultur Persia (atau kebudayaan Persia yang berakar pada kultur Tajik? Ini hanyalah debat kusir tanpa guna), juga mahir berpuisi. Sering kali saya ditanya untuk melantunkan bait-bait syair dari negara saya. Dan sering kali pula saya menjawab dengan rasa malu karena keterbatasan pengetahuan saya tentang puisi dan syair.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com