Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (118): Firdaus di Atas Awan

Kompas.com - 15/01/2009, 06:02 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]


Al pergi meninggalkan Hunza dengan segala kepuasan batinnya, dalam perjalanan pencarian jati dirinya dengan menemukan komunitas orang-orang seiman. Ia tak lagi mengeluhkan hawa dingin, jalan bolong-bolong, dan ketiadaan tiket pesawat. Jiwa yang terpenuhkan membuat segalanya menjadi indah.

Sedangkan saya, masih sendiri di pemondokan kakek tua Haider. Salju turun deras beberapa hari lalu. Jalanan desa yang naik turun makin berbahaya dengan lapisan es selicin cermin. Tak ada pilihan. Saya hanya bisa menghabiskan hari dengan selimut dan jaket tebal, membaca buku, dan menyeruput teh hijau hangat dari teko Kakek Haider.

          "Aap kaise hai? Bagaimana keadaanmu?" Kakek itu menyapa saya. Kerut-merut tajam menghias sudut matanya. Tubuhya berbalut selimut tebal, topi pakkol coklat menutup kepalanya, menyembunyikan rambut yang memutih.

          “Aap ki dua hai. Mein thik hun.. Berkat doa Anda, saya baik-baik saja,” saya memasang senyum

Kakek Haider menatap bola mata saya dalam-dalam. Sudah tiga hari saya beristirahat di desa beku ini gara-gara penyakit hepatitis-A, kenang-kenangan petualangan di India. Saat seluruh tubuh menguning dan dalam keadaan sakit parah, saya berhasil menyeberang ke Pakistan.

Hepatitis bukan barang yang asyik untuk dicoba, apalagi dalam perjalanan keliling dunia. Saya sempat takluk di dalam bus malam antara Islamabad sampai Gilgit, 18 jam perjalanan penuh siksaan di atas jalan bergerunjal, plus dua jam lagi ke Karimabad.

Hunza adalah keajaiban. Tiga hari di sana, saya berhasil memutihkan kembali mata saya yang tadinya sekuning jagung.

          “Mata kamu sudah putih. Sebentar lagi sehat,” Kakek terkekeh.

Tubuh kurusnya dibabungkus jubah qameez dan celana kombor shalwar, abu-abu. Saya kembali mendapatkan secuil semangat lagi, setelah sebulan disiksa penyakit ini.

Ada daya magis luar biasa yang menyembuhkan penyakit ini. Barisan gunung tinggi menyemburatkan udara murni. Di sini tak perlu kita bicara tentang polusi dan pemanasan global. Dingin bulan Desember membunuh semua virus di dalam tubuh saya. Dan airnya.... segar sekali, muncrat dari mata air pegunungan. Agaknya alam semurni ini menjadi rahasia panjang umur orang-orang Hunza, yang kerap lebih dari seratus tahun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com