Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (118): Firdaus di Atas Awan

Kompas.com - 15/01/2009, 06:02 WIB

Selain hepatitis, saya terserang Hunza disease. Penyakit malas. Siapa yang tak menjadi malas menikmati kehidupan tanpa ingar-bingar, keluh-kesah, dan kemorat-maritan dunia? Siapa pula yang tak terbius kekuatan magis gunung-gemunung Himalaya, Pamir, dan Karakoram? Hari-hari serasa terbang di hadapan Rakaposhi yang menjulang ke langit dan Lembah Hunza bersalju, ditemani dudhpatti - teh susu panas, roti chapati, sekresek aprikot kering. Dan, wajah Kakek Haider yang seramah senyum kanak-kanak.

Pohon-pohon yang menghijau di musim panas telah beralih jadi kelabu. Gunung Rakaposhi perkasa dengan jubah putih yang menjuntai dari puncak hingga ke lereng. Di kakinya, orang-orang desa bertahan melewati siang dingin di sisi api unggun dan malam yang menggigit di bawah selimut tebal. Tak banyak turis. Saya hampir selalu seorang diri di penginapan Kakek Haider.

          “Musim panas kemarin,” kata sang Kakek, “kami sibuk sekali. Banyak sekali turis yang datang. Sampai penginapan di sepanjang jalan ini semua penuh.” Karimabad memang bertabur losmen murah untuk backpacker, hingga hotel berbintang untuk tamu kehormatan.

Saya memang ke sini untuk menyepi, mencari keheningan, yang hanya ada di musim dingin. Semakin lama, saya semakin malas, habitat saya hanya berkutat di kamar, jalan gang, dan warung.

Tetapi hidup saya mulai sedikit berwarna sejak kedatangan tiga turis Jepang dua hari lalu, walaupun mereka juga hanya makan, tidur, mendengarkan musik saja kerjanya. Kemarin juga datang sepasang kekasih yang bersepeda dari negeri China, menginap di pemondokan sebelah saingan Kakek Haider. Yang cewek orang China, cowoknya orang Jerman. Sepanjang hari mereka pun tidur. Kalau bangun jam sebelas siang, sarapan langsung digabung makan siang. Dudhpati tak pernah absen, memang sangat nikmat diminum di udara dingin begini. Begitu makan, mereka jalan-jalan sebentar, lalu tidur lagi.

Saya terbang bersama waktu. Di sini yang berkuasa hanya nyanyian bisu gunung-gunung yang bergema hingga ke relung hati. Tak terasa, malam tahun baru pun tiba, dan kami hanya melewatkan dengan tidur. Bersama-sama pula. Tak ada resolusi tahun baru, melintasi pergantian tahun, mengenang masa lalu. Dingin-dingin begini tak ada yang lebih nikmat daripada bersembunyi di balik selimut tebal, dalam kegelapan kamar yang tak pernah dirambah listrik.

          “Dengar-dengar kakek Haider itu Syiah ya? Kalau kakek Hassan, dia Ismaili kan?” Droma, si pesepeda China itu memulai pergosipan sore hari dengan kawan Jermannya. Mereka lalu bergunjing tentang persaingan dua pemondokan yang bersebelahan ini. Saya tak terlalu tertarik mengikuti acara bisik-bisik di pinggir jalan ini.

Orang-orang Jepang malah asyik meminjam buku bacaan dari pemondokan sebelahnya lagi yang punya koleksi lengkap komik dan novel Jepang. Saya heran, mengapa mereka harus jauh-jauh ke Pakistan hanya untuk baca komik Jepang? Tetapi setiap orang memang punya caranya sendiri untuk menikmati pelajaran.

Saya pun sama saja. Selain tidur, saya suka menghabiskan waktu dengan juru masak, Hussain dan Aslam, sambil belajar bahasa Urdu. Kadang mereka mengajari saya bahasa Burusashki, bahasa yang hanya dipakai di lembah Hunza dan tak berkerabat dengan bahasa mana pun. Susah sekali, logatnya aneh dan menghentak-hentak. Kemarin kakak beradik itu menghadiahi saya seplastik aprikot kering. Buah aprikot Hunza memang yang paling enak. Tetapi setelah itu satu pemondokan kena diare semua.

Selain berkutat di ruang makan, kerjaan saya cuma menulis buku harian, pergi ke warnet (yang tahu-tahu muncul di sini sejak setahun silam), menonton film India (kalau listrik tiba-tiba nyala), dan kembali tidur. Hepatitis sembuh, tapi saya malah kena penyakit malas khas Hunza.
warna merah


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com