Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (196): Perjuangan Hidup

Kompas.com - 06/05/2009, 08:46 WIB

Semasa hidup, keledai berfungsi sebagai alat transportasi utama. Di atas punggungnya biasanya orang meletakkan karet dan bak berisi air, setelah perjalanan panjang melintasi berkilo-kilometer bukit pasir mencari sumur. Zaman dahulu kala, unta juga alat angkut yang tangguh dan kuat melintas padang luas selama berhari-hari. Tetapi sekarang sudah ada bus dan truk yang menjangkau semua penjuru gurun.

Sapi juga diperah susunya. Hanya saja, karena kekeringan berkepanjangan, sapi-sapi di Ramsar semua tinggal tulang berbalut kulit. Susu sapi segar cuma khayalan indah di sini. Setidaknya, bagi penduduk Muslim, daging sapi masih nikmat disantap.

Orang Ramsar juga beternak kambing, yang hasilnya cukup lumayan kalau dijual di bazaar kota Umerkot. Seekornya 3.000 Rupee. Tetapi susah sekali menjualnya, karena kambing-kambing ini kurang nutrisi, jauh dari sehat.

Di pagi hari, sapi dan kambing digiring bocah-bocah desa untuk merumput di jangal. Kata jangal dari bahasa Hindi kemudian menjelma menjadi jungle dalam bahasa Inggris, yang berarti hutan rimba. Tetapi jangan bayangkan hijaunya rimba. Jangal di sini hanya semak belukar kering dan menguning, tumbuh jarang-jarang, di tengah padang Thar yang liar. Bocah-bocah kecil dari Ramsar seketika berubah menjadi koboi yang gagah perkasa di atas keledai, menyambiti sapi dan kambing yang tidak menurut.

Masih ada menu alternatif bagi hewan-hewan ternak itu. Biji bunga matahari. Setiap minggu, warga desa Ramsar mengorganisasi pembelian biji bunga matahari dari Umerkot secara kolektif. Datangnya berkarung-karung, ditimbang pelan-pelan dengan neraca primitif dari timbal dan tali tampar, sebelum didistribusikan kepada keluarga-keluarga. Orang-orang dari dusun Ramser Hindu pun datang membeli bagiannya.

Untuk 40 kilogram biji harganya 120 Rupee. Cuma bertahan tiga hari, diserbu oleh hewan-hewan yang sudah lama kelaparan. Bukan cuma hewan saja. Anak-anak kecil dari berbagai penjuru desa juga berhamburan, memunguti biji-biji bunga matahari yang tercecer di atas pasir. Mereka makan bersama-sama dengan kambing-kambing, langsung dari tanah.

Tetapi senyum gembira tersungging di wajah bocah-bocah itu, laki-laki dan perempuan. Makan biji-bijian yang sudah kotor bercampur pasir sama sekali bukan masalah. Bukankah pasir sudah menjadi menu pokok? Kambing juga teman hidup. Dan rasa lapar yang mendera bertahun-tahun membuat apa pun bisa dimakan.

           “Berapa jumlah anakmu?” tanya saya kepada seorang penduduk Ramser.
           “Dua belas,” jawab pria paruh baya itu.
           “Hah? Dua belas! Banyak sekali! Tidak ikut program KB?”
           “Hai, bhai, Saudara! Kami ini orang beriman! Tuhan berkata, janganlah kita khawatir akan hari esok, karena Tuhan akan selalu memelihara anak-anak kita. Lihatlah, kambing-kambing pun masih bisa hidup di sini. Apalagi anak-anak kita yang dipelihara Tuhan.”


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com