Komitmen Pemerintah Myanmar untuk konsisten melanjutkan proses reformasi secara damai kembali dipertanyakan.
Tindakan brutal polisi Myanmar dalam menghadapi sejumlah aksi unjuk rasa damai, Kamis pekan lalu, memicu keraguan itu.
Sejumlah orang di kota Pyay, sekitar 300 kilometer utara Yangon, terluka terkena pukulan aparat saat berdemonstrasi menuntut akses dan perbaikan layanan pasokan listrik. Dua demonstran dilaporkan terluka parah dan enam lainnya ditahan polisi.
Tindakan lain, yang dinilai masih menggambarkan ketidakkonsistenan Pemerintah Myanmar terhadap kelanjutan proses reformasi damai, tampak ketika militer negeri itu menggelar serangan militer terhadap kelompok perlawanan etnis minoritas Kachin, sejak awal Mei.
Amnesty International mengecam tindakan militer Myanmar itu, yang menurut mereka juga ditujukan kepada warga sipil di daerah konflik, termasuk serangan seksual terhadap para pengungsi perempuan etnis Kachin.
Militer juga dituduh menghalang-halangi akses lembaga bantuan kemanusiaan untuk menjangkau para pengungsi.
Banyak kalangan yakin masih ada kelompok kuat antireformasi di tubuh militer hingga saat ini. Hal itu tampak jelas dari ketidaksinkronan dan penolakan militer terhadap keinginan dan perintah langsung Presiden Thein Sein, yang berambisi besar menuntaskan berbagai konflik antara pemerintah pusat dan berbagai etnis di Myanmar.
Presiden Sein telah memerintahkan penghentian konflik bersenjata antara militer dan kelompok-kelompok etnis.
Dalam diskusi bertema ”Recent Burmese Progress Toward Democracy: How Permanent?” di Jakarta, Rabu (23/5), Peter Manikas, Direktur Program Asia di National Democratic Institute, melontarkan kekhawatiran terhadap kelanjutan proses reformasi damai di Myanmar.
Manikas mengatakan, banyak pihak masih belum tahu pasti berapa banyak dan seperti apa komposisi kelompok-kelompok yang pro dan antireformasi, terutama di dalam pemerintahan Myanmar.
Ia mengatakan, Myanmar bisa belajar banyak dari pengalaman Indonesia, yang pernah punya problem sama sebagai negara yang didominasi kekuasaan militer.
”Pengalaman Indonesia dalam membangun dan menyusun konstitusi baru saya pikir bisa sangat berharga bagi Myanmar, terutama soal bagaimana Indonesia sukses mengeluarkan militer dari politik,” ujar Manikas.