Komitmen Rusdi dibayar Sinar Jaya dengan membawa ribuan penumpang singgah di Taman Selera setiap hari. Jika satu bus berisi 30 penumpang saja, maka sehari ada 12.000 tamu datang dan berbelanja. Kalau musim mudik, Taman Selera melayani 35.000 orang lebih. Itu baru penumpang Sinar Jaya saja.
Tahun 2003, ketika terjadi kemacetan parah di pantura selama hampir dua hari saat musim mudik Lebaran, Taman Selera diserbu puluhan ribu pemudik yang kelaparan. Setiap kali mengeluarkan makanan, langsung tandas. ”Hari itu persediaan ayam kami tinggal 2 kuintal, pasti tidak cukup untuk makan ribuan orang,” kenang Rusdi.
Ia pun menelepon pemasok ayam, daging, dan beras langganannya. Namun, mereka tidak sanggup mengirim pesanan pada hari itu juga lantaran kemacetan menggila. Tidak habis akal, ia kerahkan anak buahnya keliling kampung di sekitar warung untuk membeli ayam dan sapi yang diternak warga. Hari itu, mereka berhasil mengumpulkan 4 ton ayam dan tiga ekor sapi. Semuanya dimasak dan tandas disantap pengunjung.
Panjang akal menjadi mantra sukses. Itu pula yang menyelamatkan Nedy dari kebangkrutan. Dua bulan setelah buka warung, penghasilannya nol. Begitu masuk bulan puasa, saat sopir bus dibebaskan oleh perusahaannya untuk memilih tempat makan sahur, Nedy bergerilya membujuk awak bus agar singgah di warungnya. Ia melayani mereka sebaik ia bisa. ”Alhamdulillah, parkiran kami sampai penuh sesak.”
Jaringan Minang
Nedy juga memanfaatkan betul jaringan Minang. Begitu ia tahu pemilik PO Ranau Indah orang Sumpur, Nedy segera mengontaknya. Ia menemui Antoni, pemilik PO Ranau Indah, di Terminal Bus Bekasi. ”Hanya butuh setengah jam bincang-bincang, besoknya bus-bus Ranau Indah yang melintasi Indramayu sudah mampir ke rumah makan saya.”
Antoni yang ada di sebelah Nedy tersenyum dan menimpali, ”Begitu saya tahu Pak Nedy orang Sumpur, saya tutup mata dan tanda tangan proposalnya, ha-ha-ha.” Ia tidak meminta keuntungan apa-apa dari kemitraan itu. Ia hanya minta Nedy ikut mengurus bus Ranau Indah di wilayah ”kekuasaannya”.
”Pintu saya selalu terbuka buat orang-orang sekampung. Saya ingat kata-kata ayah, jika saya membantu teman sekampung, ia akan ikut membangun kampung kami setelah ia sukses,” tambah Antoni.
Di Nagari Sumpur yang terletak di tepian Danau Singkarak, genaplah kata-kata Antoni. Bersama Rusdy, Nedy, dan perantau lainnya, ia pulang kampung awal Juli lalu untuk menghadiri pertemuan besar yang membicarakan upaya membangun Nagari Sumpur. Pembawa acara menyebut mereka sebagai ”yang terhormat para perantau”. Mereka juga disambut anak- anak muda dan panitia pembangunan masjid terbesar di Sumpur yang belum rampung.
Begitulah, kesuksesan para juragan itu menjadi pembenar sebuah pepatah Minang, pai mambaok kanti, pulang bagalang ameh. Pergi merantau berbekal seadanya, pulang kampung membawa emas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.