Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mendaki Kinabalu, Benar-benar Benci tetapi Rindu...

Kompas.com - 18/11/2013, 09:27 WIB
Latief

Penulis

KOMPAS.com — Masih 800 meter lagi, tapi rasanya napas benar-benar seperti mau habis. Setiap dua langkah maju, bernapas rasanya semakin berat lantaran tercekat di dada. Di atas ketinggian 3.900 meter di atas permukaan laut ini, baru saya alami gelembung oksigen yang masuk ke paru-paru semakin lama semakin sedikit.

Bah! Dingin pun semakin menggigit tulang dan kulit. Jauh di depan, tampak rombongan pendaki lain terlihat kecil. Mereka berjalan seperti membentuk barisan, berbondong-bondong bak prajurit semut yang tengah bersiap menuju Low's Peak, puncak Gunung Kinabalu, Sabah, Malaysia, di ketinggian 4.095 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Nyaris, saya putus asa ketika pertama melihat pemandangan "menyakitkan" itu; yaitu para pendaki lain yang sudah siap lebih dulu menggapai Low's Peak. Entah kapan giliran saya tiba di situ. Rasanya, jarak 800 meter ini enggan untuk dilanjutkan.

Tapi, motivasi dalam dalam hati terus-menerus terngiang. "Sudah jauh-jauh ke sini, kepalang badan sudah capek, kok tidak sampai puncak!" batin saya.

Suara dalam batin itu terdengar semakin kuat, terutama lantaran sehari sebelumnya, Eva Fitri atau Ivy, seorang rekan saya dari Indonesia, "tumbang". Ia mengaku gagal mendaki puncak akibat terkena serangan accute mountain sickness (AMS). Penyakit ketinggian gunung itu membuatnya muntah-muntah dan mengharuskannya mengurangi ketinggian atau turun untuk segera menghilangkan rasa sakit dan menghindari risiko AMS lebih parah.

Tak hanya Ivy, di tengah jalan tadi pun saya melihat seorang pendaki asal Singapura tergolek. Ditemani guide yang mengiringinya, pendaki itu tampak lemah dan menggeleng-gelengkan kepalanya lantaran merasa sakit. Si pemandunya sudah angkat bahu, sementara si pendaki hanya bisa tidur telentang. Akhirnya, pendaki itu juga menyerah, memilih tidak melanjutkan perjalanan sampai ke puncak.

Tekad saya sudah bulat. Meski jalan seperti keong yang amat lamban, langkah kaki saya lama-kelamaan terus bergerak maju. Prinsip saya, jalan perlahan lebih baik ketimbang terlalu cepat dan hanya mengakibatkan mudah terserang AMS. Ya, terlalu cepat meraih ketinggian bisa berakibat terkena serangan dini AMS yang banyak dialami pendaki mana pun.

Mahendratta Sambodho/MAPALA UI Jalur selepas Sayat-sayat ini berupa batuan andesit yang sepertinya tidak memberi ampun. Tak ada pohon untuk berlindung dari angin. Di kiri dan kanan jalur pendakian hanya tebing, sementara di depan terbuka lebar arah rute menuju Low's Peak. Tak pelak, angin sebebas-bebasnya menghantam dari depan atau samping!
Beruntungnya, "ilmu naik gunung" sejak kuliah itu masih tertanam dan berhasil saya jalankan di sini. Setelah lebih dari lima jam, tepat pukul 8.30 saya tiba di Low's Peak. Letih dan dingin hilang seketika. Sembari duduk untuk sejenak menghela napas, saya memandangi alam Kinabalu yang cantik. Dalam batin terngiang, rasanya rugi besar kalau tadi harus mengalah dengan kelelahan.

Terbayar mahal 

Boleh jadi, salah satu keberuntungan yang bisa membawa saya mendaki sampai ke puncak Gunung Kinabalu itu adalah cuaca cerah. Maklum, November adalah bulan penuh hujan, dan pendakian biasanya jadi semakin sulit. Terbukti, saat memulai pendakian ini sehari sebelumnya, hujan menyiram deras sejak rehat makan siang di shelter Layang-layang (2.702 meter).

Bagi saya, mungkin juga pendaki lain, mendaki kala hujan deras benar-benar aktivitas paling dibenci dan menyebalkan. Sudah lelah, basah, dihantam dingin pula! Tapi, memang, mau tak mau itu harus dihadapi, mengingat musim hujan sudah masuk waktunya.  

Normalnya pendakian ke Gunung Kinabalu adalah sekitar Mei-Juni-Juli hingga Agustus. Pada bulan-bulan ini cuaca relatif lebih baik dan menguntungkan para pendaki.

"Tapi, sudah dua tahun ini musim tidak menentu. Sangat beruntung kalau di bulan November masih dapat cuaca cerah untuk mendaki sampai ke puncak. Karena kalau hujan deras, Anda dan pendaki mana pun tidak kami perbolehkan mendaki, terutama untuk ke Low's Peak. Berbahaya!" kata Francis James bin Sanip, pemandu pendakian.

Toh, hujan deras kali ini tak mengurangi kenyamanan mendaki. Pasalnya, rute pendakian Gunung Kinabalu tergolong rapi dan terawat. Beberapa jalur curam dan berpotensi membahayakan pendaki "ditutupi" dengan tangga-tangga kayu. Pun, umumnya pendakian didominasi batuan sehingga tidak licin saat hujan.

Rute perjalanannya juga tampak jelas karena tidak tertutup rapat oleh vegetasi. Berawal dari shelter atau pos Timpohon Gate (1.866 m), pendakian akan menuju dua pos utama selanjutnya,
yaitu Pondok Layang-layang (2.702 m) dan Laban Rata (3.273 m) di sela pos-pos lainnya. Selanjutnya, dari Laban Rata, para pendaki akan menuju Pondok Gunting Lagadan (3.323 m) dan Pondok Sayat-sayat atau pos terakhir tempat pengecekan wajib bagi para pendaki yang akan menuju Low's Peak.

Mahendratta Sambodho/MAPALA UI Untuk menggapainya Laban Rata selepas pos Layang-layang, para pendaki tak akan putus-putusnya disuguhi tanjakan.
Dengan waktu pendakian dua hari, Laban Rata akan menjadi akhir etape pertama perjalanan. Namun, untuk menggapainya selepas pos Layang-layang, para pendaki tak akan putus-putusnya disuguhi tanjakan. Tak heran, Dedy Abdullah, seorang rekan pendaki dari Indonesia sempat komplain.

"Ini kapan selesainya sih tanjakan?" sungut Dedy.

Tapi, tenang saja, lelahnya menghadapi ujian mental dan fisik tanjakan-tanjakan itu akan terbayar dengan sangat mahal. Pasalnya, Laban Rata adalah resthouse atau hotel mini di atas gunung yang hangat dan nyaman.

Dengan waktu tempuh normal sekitar 7 sampai 8 jam sejak meninggalkan pos pertama Timpohon Gate, pendaki yang tiba di Laban Rata berhak mendapatkan suguhan kenikmatan teh hangat, kopi yang harum, serta makanan bergizi untuk mengembalikan kondisi bugar seperti sedia kala. Karena dari Laban Rata inilah, semua pendaki akan memulai etape pendakian kedua atau tahap akhir menuju Low's Peak pada keesokan harinya (dini hari).

Tak hanya urusan perut. Pihak Taman Nasional Kinabalu juga menyediakan kamar yang nyaman, ranjang nan empuk, lengkap dengan selimut hangat. Praktis, kebencian hati terhadap tanjakan-tanjakan curam di rute pendakian ini sirna. Kekesalan dan patah semangat berganti dengan kerinduan untuk terus melanjutkan pendakian hingga tuntas ke puncaknya.

Mual-mual

Tepat pukul 02.00 dini hari, cuaca di luar resthouse Laban Rata tampak cerah. Suhu pun cukup bersahabat. Serta-merta, keriuhan hotel ini berubah riuh. Mata memang terasa masih mengantuk, tetapi inilah saatnya para pendaki bersiap melanjutkan pendakian menuju Low's Peak, puncak tertinggi Gunung Kinabalu.

Mahendratta Sambodho/MAPALA UI Dengan waktu pendakian dua hari, Laban Rata akan menjadi akhir etape pertama perjalanan. Namun, untuk menggapainya selepas pos Layang-layang, para pendaki tak akan putus-putusnya disuguhi tanjakan.
Setelah pakaian dan perbekalan siap, didahului sarapan pagi, saya pun berangkat mendaki. Long john, sweater, dibalut wind breaker cukup hangat untuk membalut tubuh. Tak lupa, penutup kepala dan telinga, serta lampu senter kepala (head lamp).

Di keremangan dan angin dingin, sekitar 100 lebih pendaki terlihat mulai merayap.
Seperti kunang-kunang, hanya head lamp mereka yang terlihat di kegelapan. Pelan tapi pasti,
semua bergerak menanjak menuju shelter Sayat-sayat.

Lepas satu jam perjalanan, poin tersulit dari pendakian etape kedua ini adalah meniti tebing.
Di gelapnya malam dan hantaman angin dingin, semua pendaki harus berpegangan pada seutas tali. Perlu waspada tinggi karena kondisi tebing licin oleh embun sisa semalam. Celaka sedikit saja, jurang di belakang tubuh siap menunggu.

Lepas dari titian tebing itu, napas mulai tersengal-sengal. Biasanya, jika terlalu cepat melangkah atau menambah ketinggian, napas di dada mudah sesak. Perut pun terasa mual. Jika makin parah, kondisi itu bisa berubah fatal. Kepala akan terasa sakit, sekonyong-konyong seperti dihantam godam.

Beruntung, langkah kaki saya tergolong lambat. Hanya mual-mual yang sempat mendera saat tergopoh-gopoh mengikuti jalur menanjak selepas pos Sayat-sayat.

Jalur selepas Sayat-sayat ini berupa batuan andesit yang sepertinya tidak memberi ampun. Tak ada pohon untuk berlindung dari angin. Di kiri dan kanan jalur pendakian hanya tebing, sementara di depan terbuka lebar arah rute menuju Low's Peak. Otomatis, angin sebebas-bebasnya menghantam dari depan atau samping!

Beruntungnya, hingga dua jam perjalanan, cuaca benar-benar cerah. Tak ada gerimis, apalagi hujan deras seperti sehari sebelumnya. Hanya angin yang sesekali kuat menerpa badan.

Mahendratta Sambodho/MAPALA UI Dengan waktu tempuh normal sekitar 7 sampai 8 jam sejak meninggalkan pos pertama Timpohon Gate, pendaki yang tiba di Laban Rata ini berhak mendapatkan suguhan kenikmatan teh hangat, kopi yang harum, serta makanan bergizi untuk mengembalikan kondisi bugar seperti sedia kala.
Perlahan, matahari menyembulkan sinarnya. Rute pendakian Low's Peak semakin jelas, dan tentu saja, menantang. Makin tinggi hingga 3.900 meter di atas permukaan laut, deru angin semakin kuat. Jemari yang terlindung sarung tangan pun sedikit kebas.

"Masih 800 meter lagi. Diperkirakan kita sampai sebelum jam 9," kata Francis, pemandu pendakian.

Benar saja. Perlahan-lahan tapi pasti, saya tiba di Low's Peak, 4.095 meter, puncak tertinggi
di Gunung Kinabalu. Dicungkupi langit biru, hangat sinar matahari pagi saat berdiri di puncak gunung ini terasa benar-benar membayar tuntas semua kelelahan. Sirna sudah semua kebencian, berganti kerinduan untuk selalu pergi mendaki puncak-puncak gunung lainnya kelak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com