Wadai 41 telah lama hadir dalam kebudayaan masyarakat Banjar, bahkan sebelum Islam hadir di wilayah itu. Penggiat kebudayaan Banjar, Joerliani Dyohansyah (84), menyebutkan, tradisi wadai 41 bermula dari tradisi masyarakat Hindu pada masa Kerajaan Dipa di Hujung Tanah, kini Kalimantan Selatan. ”Wadai 41 adalah sesaji untuk para roh penghuni alam agar tidak mengganggu kehidupan manusia,” ujarnya.
Keberadaan awal sejarahnya sebagai makanan sesaji membuat kue yang tergolong sebagai wadai 41 kaya akan simbol, menjadi makanan yang bukan sekadar penganan. Joerliani menguraikan, warna putih melambangkan kebaikan, merah: keberanian, hijau: kemakmuran, dan kuning: kemuliaan atau kejayaan. Semua warna melambangkan harmoni kehidupan.
Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat, MZ Arifin Anis, menyebutkan, Kesultanan Banjarmasin lahir dari sengketa mahkota Kerajaan Dipa antara Pangeran Samudera dan paman-pamannya. Babak sejarah itu menjadi awal islamisasi Banjar, yang mengubah corak dan keseharian hidup urang Banjar.
”Karena terancam dibunuh paman-pamannya, Pangeran Samudera meminta perlindungan Patih Masih di muara Sungai Kuin, yang sekarang menjadi Kota Banjarmasin. Patih Masih menyarankan Pangeran Samudera meminta bantuan kepada Kesultanan Demak untuk mengalahkan Kerajaan Dipa. Dalam hikayat Banjar disebutkan, Demak mengirim pasukan dipimpin Khatib Dahayan, membantu pendirian sebuah kerajaan Islam, Kesultanan Banjarmasin, yang resmi berdiri pada 24 September 1524. Pangeran Samudera ditahbiskan menjadi sultan pertamanya, bergelar Sultan Suriansyah,” kata Arifin.
Wadai 41 atau kue persembahan menjadi salah satu budaya yang terwariskan dari tradisi Hindu dan bertahan dalam peradaban baru urang Banjar. Joerliani menuturkan, hingga kini, wadai 41 harus ada dalam setiap acara ritual kebudayaan ataupun acara keagamaan. Setiap acara di Kesultanan Banjar ataupun acara kabupaten, biasanya wadai menjadi salah satu bagian penting melengkapi acara. Bahkan, untuk acara perkawinan atau kelahiran orang Banjar, wadai 41 penting untuk dihadirkan.
”Wadai 41 harus selalu ada dalam setiap acara pegustian, selamatan, dan perayaan resmi daerah,” kata Joerliani. Hanya saja, orang tidak lagi menyajikan kopi pahit, kopi manis, dan air kelapa dalam ritualnya. Selain pergeseran dalam nilai makna penyajiannya, jenis variasi makanan wadai 41 juga berubah. Karena sangat suka kue manis dan lembut, masyarakat Banjar kemudian membuat bingka dengan berbagai rasa, seperti bingka nangka, tapai, pandan, kismis, durian, dan keju.
Di warung wadai Hajah Nurmakiah, kami menemukan bingka tapai, berupa ketan putih yang diolah dengan pandan hingga berwarna hijau. Tekstur lembutnya mengantarkan rasa tabai berbalur gurihnya telur, dan, hmmmm, rasa manisnya yang pekat. Wadai tak hanya penuh warna, tetapi juga kaya rasa, dan sejarah. (Aryo Wisanggeni/Defri Werdiono/Umi Kulsum)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.