Rohim (40), yang beberapa tahun lalu menekuni pekerjaannya sebagai sais dokar, mengaku terpaksa melepas pekerjaannya dan memilih menjadi juru parkir di sekitar Pasar Induk Wonosobo. ”Sekarang susah. Dulu saya beli dokar Rp 5 juta sudah dapat yang istimewa, komplet dengan kudanya. Jalan satu tahun sudah kembali modalnya. Beda dengan sekarang, tiga sampai empat tahun baru kembali,” ujarnya.
Sukardi (52), sais dokar yang juga pernah menjadi Ketua Sais Dokar Wonosobo, menyebutkan, di tahun 1980-an dokar Wonosobo mengalami masa kejayaan. Ketika itu belum ada angkutan umum seperti sekarang. Hampir semua warga menggunakan jasa dokar. Karena itu, memiliki dokar di zaman itu sangat menjanjikan. Bahkan di kampungnya, kelurahan Kalibeber, Kecamatan Mojotengah, ada lebih dari 25 dokar. ”Satu rumah bisa punya dua sampai tiga dokar. Saya bisa menyekolahkan anak sampai lulus SMA,” katanya.
Demikian dekatnya dokar dengan rakyat, sampai-sampai setiap tahun ada lomba cerdas cermat khusus untuk sais dokar. ”Saya pernah dapat piala,” ujar Sukardi menunjukkan lima piala yang diterimanya sekitar tahun 1980 hingga 1990.
Saking banyaknya dokar ketika itu, operasional dokar dibagi dua, yakni pagi sampai sore dan sore sampai malam. Dokar yang beroperasi malam diberi tanda roda putih dan harus dilengkapi dengan lentera sebagai penerangan dan lonceng untuk bel.
Kini, seiring berjalannya waktu, dokar pun mulai tergusur. Dokar tidak lagi menjadi transportasi utama di Wonosobo. Menurut Sukardi, agar dokar tetap hidup, ada kesepakatan di antara sais dan sopir angkutan kota, yakni angkot tidak boleh menarik penumpang di ruas jalan tertentu yang disepakati sebagai wilayah penumpang dokar.
Jumlah terus menurun
Data dari Pemerintah Kabupaten Wonosobo, empat tahun terakhir ini menunjukkan tren penurunan jumlah dokar. Pada tahun 2009 jumlah dokar yang terdata 301 dokar, tahun 2010 sebanyak 267 dokar, tahun 2011 sebanyak 230 dokar, dan 2012 terdapat 200 dokar.
Untuk membantu para sais, pada tahun 2001 atau sekitar 12 tahun lalu Pemkab Wononobo pernah memberikan bantuan stimulan sebesar Rp 150 juta yang diberikan melalui Koperasi Mega Gotong Royong (Komegoro) yang beranggotakan sais dokar. Bantuan ini untuk kesejahteraan anggota dan istri sais dokar dalam bentuk usaha ekonomi produktif.
Pemkab Wonosobo sendiri hingga sejauh ini tidak punya program khusus untuk mempertahankan eksistensi dokar. Namun, Bupati Wonosobo Kholiq Arief menyebutkan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Wonosobo sejak tahun lalu menyiapkan 15 unit dokar yang beroperasi di kawasan obyek wisata Dieng Plateau pada saat libur hari raya dan kegiatan-kegiatan pariwisata.
Setiap tahun, melalui Badan Lingkungan Hidup, juga dialokasikan anggaran bantuan kantong kotoran kuda dan sorok untuk membersihkan kotoran kuda bagi dokar untuk mendukung kebersihan kota. Di samping itu, ada upaya-upaya pembinaan dari instansi terkait, seperti Satpol PP dan Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi Wonosobo, bagi sais dokar dalam rangka ketertiban, baik dalam menggunakan jalur maupun mendukung kebersihan lingkungan.
Kini, nasib dokar bergantung pada dukungan pemerintah setempat. Sekuat apa pun para sais bertahan dari derasnya tekanan transportasi modern, tetapi tanpa ada dukungan pemerintah setempat, lambat laun transportasi andalan yang melegenda di Wonosobo ini akan punah, hanya tinggal kenangan. (Sonya Hellen Sinombor)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.