Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lurik Menerobos Zaman

Kompas.com - 25/02/2014, 08:48 WIB
LURIK terpaut erat dengan sejarah bangsa. Jejaknya yang penting dalam kemandirian sandang masa lampau terpahat pada prasasti dan relief candi-candi. Sempat mencapai masa jaya, lurik kini harus berjuang hidup seturut selera zaman.

Jejak kejayaan lurik masih membekas di rumah pengusaha lurik Raden Rachmad (81) di Pedan, Klaten, Jawa Tengah. Kertas-kertas pesanan lurik dari sejumlah negara berserakan di meja Toko Sumber Sandang milik pria yang dijuluki ”Begawan Lurik” itu.

Satu lembar memo berisi permintaan kain lurik dari Honolulu, Amerika Serikat, yang lainnya berasal dari Australia. Mereka menyertakan motif, warna, dan jumlah permintaan yang kebanyakan telah rutin dipesan untuk desain interior rumah.

Jika tak sanggup melayani, Rachmad meneruskan pesanan itu kepada tiga dari delapan anaknya yang kini turut menekuni lurik. Sayangnya, semangat Rachmad untuk terus berkarya tak lagi diimbangi kekuatan prima dari karyawan-karyawannya, buruh lurik.

Menelusup ke bagian belakang dari rumah Rachmad yang menyatu dengan toko, tampak hanya separuh dari 100-an tustel atau alat tenun bukan mesin (ATBM) yang beroperasi. Sisanya rusak atau ditinggal mati perajinnya.

Maklum, semua perajin sudah melampaui usia di atas separuh abad. Setua usia penghuninya, bengkel kerja itu pun mulai kusam tak terawat. Sinar matahari enggan menerobos masuk. Beberapa bagian atap bocor dengan rembesan air tertampung pada ember. ”Sehari masih bisa dapat 7-8 meter lurik, dibayar Rp 3.000 per meter,” kata seorang pekerja, Painem (70), buruh lurik sejak remaja.

Seperti buruh lurik lainnya, Painem hanya membuat lurik ketika pekerjaan di sawah sudah selesai. Jika tiba masa tanam atau panen, mereka memilih bekerja sebagai buruh tani. ”Lurik jadi sambilan daripada menganggur,” tambah Painem.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Proses pemintalan benang bahan baku kain lurik di rumah produksi Kurnia Lurik, Dusun Krapyak Wetan, Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, DI Yogyakarta.
Pada era jaya tahun 1960-an, Pedan pernah menjadi pusat produksi lurik Jawa Tengah. Dengan dukungan koperasi di tiap kecamatan, pengusaha lurik Klaten mencapai 500 orang dengan 70.000 buruh. Bandingkan dengan jumlah pengusaha lurik yang kini hanya tersisa dua orang di Pedan.

Industri lurik makin tergerus pada Orde Baru ketika pabrik tekstil dan konglomerasi bermunculan. ”Dulu, saya bisa untung 100-120 persen, sekarang paling banyak 30 persen,” tambah Rachmad yang memulai usahanya pada 1960.

Telanjur jatuh cinta pada lurik, Rachmad terus bertahan. Ia sempat beralih profesi sebagai penjual nasi dan berdagang telur, tapi kembali pada lurik. ”Mengelus dada lihat nasib lurik. Enggak bisa tinggal diam,” tambahnya.

Jika hingga kini Rachmad tetap bertahan, itu karena pasar masih meminati lurik buatannya. Ia berkreasi memakai bahan baku benang katun atau sutra kualitas baik yang sesekali dipadukan dengan serat alami.

Kreativitas

Kreativitas juga menjadi kunci pertahanan bagi Kurnia Lurik di Krapyak Wetan, Bantul, DI Yogyakarta. Ketika pengusaha-pengusaha lurik gulung tikar dan hanya menyisakan sepuluh pengusaha di DIY, Kurnia Lurik bertahan sejak didirikan Dibyo Sumarto (almarhum) pada tahun 1962.

Dengan 50 pekerja yang mayoritas lanjut usia, Kurnia Lurik stabil memproduksi 4.500 meter lurik per bulan. Produksi pakaian adat atau surjan bagi abdi dalem keraton tetap digenjot. Namun, pakem klasik ini telah berkembang sesuai tren warna dan penataan garisnya pun makin abstrak.

Motif klasik hujan liris warna hitam putih yang biasa digunakan oleh raja Yogyakarta, misalnya, diproduksi bervariasi dengan warna mulai hijau toska, maron pelangi, atau ungu muda. Setiap bulan selalu ada motif baru yang dirilis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ketua PHRI Sebut Perkembangan MICE di IKN Masih Butuh Waktu Lama

Ketua PHRI Sebut Perkembangan MICE di IKN Masih Butuh Waktu Lama

Travel Update
Astindo Nilai Pariwisata di Daerah Masih Terkendala Bahasa Asing

Astindo Nilai Pariwisata di Daerah Masih Terkendala Bahasa Asing

Travel Update
Kereta Api Lodaya Gunakan Kereta Eksekutif dan Ekonomi Stainless Steel New Generation Mulai 1 Mei 2024

Kereta Api Lodaya Gunakan Kereta Eksekutif dan Ekonomi Stainless Steel New Generation Mulai 1 Mei 2024

Travel Update
Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Travel Update
4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

Jalan Jalan
3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

Hotel Story
Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Jalan Jalan
Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Jalan Jalan
Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Travel Tips
4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

Jalan Jalan
Tradisi Syawalan di Klaten, Silaturahmi Sekaligus Melestarikan Budaya dan Tradisi

Tradisi Syawalan di Klaten, Silaturahmi Sekaligus Melestarikan Budaya dan Tradisi

Jalan Jalan
Aktivitas Seru di World of Wonders Tangerang, Bisa Nonton 4D

Aktivitas Seru di World of Wonders Tangerang, Bisa Nonton 4D

Jalan Jalan
Cara ke Pasar Senen Naik KRL dan Transjakarta, buat yang Mau Thrifting

Cara ke Pasar Senen Naik KRL dan Transjakarta, buat yang Mau Thrifting

Travel Tips
8 Tips Kemah, dari Barang Wajib DIbawa hingga Cegah Badan Capek

8 Tips Kemah, dari Barang Wajib DIbawa hingga Cegah Badan Capek

Travel Tips
Harga Tiket Candi Borobudur April 2024 dan Cara Belinya

Harga Tiket Candi Borobudur April 2024 dan Cara Belinya

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com