Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemandu Wisata Tunarungu, Keindahan Bali yang Bening

Kompas.com - 21/03/2014, 09:47 WIB
SEORANG penyandang tunarungu menjadi pemandu wisata bagi wisatawan tunarungu di Bali. Dalam keheningan, mereka menemukan keindahan Bali yang bening. Mereka yang tunarungu bisa memberdayakan diri lewat beragam profesi.

Pemandu tunarungu Arie Wahyu Cahyadi (28) menggerakkan jari-jari kedua tangannya dan sesekali diikuti gerakan tangan ke kanan atau seputaran wajah. Bibirnya mengucapkan kata-kata bahasa Inggris kepada wisatawan Australia, Brittany Grant dan Jaimilee Duce.

Sesekali mereka bercanda dan tertawa bersama ketika mengunjungi Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagian B Negeri Pembina Tingkat Nasional Jimbaran, Kabupaten Badung, Bali, Jumat (28/2). Bahkan, mereka berbaur dengan siswa-siswa di sana.

”Mereka (Brittany dan Jaimilee) berharap siswa-siswa tetap semangat belajar dan bekerja. Maklum, kondisi sekolah di negara mereka jauh lebih baik,” tutur Wahyu perlahan seperti berbisik menjelaskan jawaban isyarat dua tamunya.

Jaimilee yang sudah lima kali datang ke Bali mengandalkan Wahyu sebagai pemandu. Selama bersama tamu, Wahyu mengenakan udeng, ikat kepala khas Bali. Ia memakai kamen atau kain dan kaus berkerah warna hitam bertuliskan ”Balideafguide”.

Dengan membaca bibir, Wahyu bisa dengan lancar menjelaskan pengalamannya memandu turis-turis asing tunarungu. ”Kekurangannya” sebagai tunarungu justru memberikan nilai lebih di industri pariwisata Bali.

Bahasa alami

Wahyu menjadi pemandu pramuwisata khusus turis tunarungu semula atas permintaan wisatawan tunarungu asal Australia yang bertamu ke sekolahnya di SLB Jimbaran, sekitar tahun 2000. Wisatawan itu meminta bantuannya untuk mengantarkan ke sejumlah obyek wisata di Bali. Selanjutnya mereka pun menyebarkan nama Wahyu.

”Setiap tamu memiliki karakter tersendiri. Tak semua memahami bahasa isyarat yang sama. Saya pun harus belajar bahasa isyarat dari karakter negara asal mereka,” tutur Wahyu.

Jika terbentur perbedaan bahasa isyarat, ia memilih menggunakan bahasa alami gerakan tubuh, seperti ingin makan atau pergi ke suatu tempat. Bahkan, tak jarang ia mengandalkan tulisan.

Dalam sehari, Wahyu bisa mengajak berkeliling ke lima obyek wisata di Bali. Mereka turut belajar berselancar dengan dipandu instruktur khusus. Sebagian wisatawan tunarungu juga tertarik belajar tari Bali. Tanpa iringan gamelan, mereka menari dengan hati. Paket wisata termasuk mengunjungi SLB Jimbaran. ”Ini justru menjadi agenda para wisatawan karena mereka sangat peduli dengan sesama tunarungu,” ujarnya.

Dalam bekerja, Wahyu sendirian menyetir mobilnya yang sudah terdaftar sebagai kendaraan wisata. Kadang-kadang saja ia ditemani istrinya, Putu Rusmianti (28), yang bukan penyandang tunarungu.

Buka salon

Tak hanya di bidang wisata, penyandang tunarungu membuktikan mampu mandiri di beragam bidang. Maria Monica Anggraeni Rahmasetiani (60) menjalani profesi sebagai penata rambut. Mengenyam pendidikan di sekolah umum mulai dari TK hingga SMA, ia kadang tidak sadar bahwa dirinya tunarungu. Dikiranya semua orang memang tidak bisa mendengar.

Karena ketidaktahuan itu, Maria pernah bermimpi tinggi ingin menjadi dokter. Jika Maria tak mengaku dirinya tunarungu, tak seorang pun bakal sadar bahwa dirinya ”berbeda”. Ia pintar membaca bibir, termasuk fasih berbahasa Inggris. ”Peran keluarga sangat besar. Mereka ajak komunikasi terus,” tambahnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com