”Padahal, terapis itu tidak bisa sembarangan memijat karena memang ada aturannya,” kata Eka.
Menurut dia, ada titik-titik tertentu yang tak boleh dipijat. Salah-salah pijat bisa membuat sakit pelanggan. Namun, Eka kesal karena beberapa terapis hanya belajar asal, tidak memiliki piagam kursus yang diakui.
Hal senada dikeluhkan Sulistiyani Supriadi, pemilik kursus terapis. Ia berharap pemerintah meningkatkan pengawasan dan kontrol kepada terapis-terapis dan rumah spa ataupun refleksi yang menampung mereka. Ia berharap masyarakat bisa mendapatkan perawatan terapis spa dari jari-jari yang benar dan bersertifikat.
Kekhawatiran ini muncul dan menjadi keprihatinan bersama dalam Konferensi Nasional Pengembangan Heritage Spa Indonesia, di Hotel Inna Grand Bali Beach, Sanur, Mei lalu. Dalam konferensi itu hadir pakar-pakar dan praktisi spa dari sejumlah daerah, termasuk 1.000 terapis yang memecahkan rekor Muri memijat bersamaan di Pantai Sanur.
Gaya hidup
BRA Mooryati Soedibyo sebagai Ketua Asosiasi Spa Indonesia (ASPI) sekaligus pengusaha ini berharap pemerintah memperhatikan persoalan terapis. Bahkan, ia mengatakan, pemerintah bisa memperhatikan masa depan spa ini.
Bagi Mooryati, spa sudah menjadi bagian dari gaya hidup sebagian orang hingga dunia. Gaya spa, menurut dia, bisa menjadi pengobatan dan perawatan kebugaran, baik perempuan maupun laki-laki. Ia khawatir citra spa bisa makin negatif jika persoalan seperti banyaknya terapis abal-abal ini merajalela.
”Negara-negara lain sudah lebih maju dalam kontrolnya. Mengapa Indonesia tidak bisa. Apalagi, Indonesia memiliki keragaman terapi air (spa) ini di beberapa daerah seperti di sembilan daerah,” kata Mooryati.
Asosiasi menonjolkan sembilan daerah mengenai terapi air (spa) mulai dari pemijatan hingga ramuan tradisionalnya, meski tidak tertutup kemungkinan masih banyak kekayaan daerah lainnya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.