Ketika disodori tempe yang kala itu masih menjadi makanan asing, pemilik restoran atau hotel biasanya akan menyilangkan tangan yang berarti ”tidak, tidak”. Meski menolak, Rustono nekat meninggalkan contoh produk tempenya. ”Saya ketuk pintunya lalu menawarkan tempe. Saya orang Indonesia, saya punya cita-cita membesarkan warisan leluhur, ” tambah Rustono.
Titik cerah produksi tempe mulai tampak setelah Rustono diwawancarai seorang wartawan Jepang. Wartawan itu tertarik ketika melihat Rustono bersemangat membangun impian dengan memperbaiki pabrik tempe pada saat salju turun. Begitu artikel dimuat satu halaman penuh, sehari kemudian, seorang pemilik restoran yang sempat menolak tempe Rustono segera memesan dan menjadi pelanggan pertama.
”Magic food”
Menjual tempe dalam kondisi mentah, Rustono membebaskan pelanggannya untuk berkreasi dengan tempe. Para koki restoran dan hotel mengolah tempe menjadi lebih dari 60 menu tempe berbeda, seperti teriyaki tempe, sandwich tempe, tempe rumput laut, ataupun dicampur dengan salad. ”Mereka menyebut tempe sebagai magic food, makanan ajaib,” kata Rustono.
Di Australia, ada pula warga lokal, Amita Buissink, yang jatuh cinta kepada tempe. Ia bahkan memproklamasikan diri sebagai duta tempe. Tak hanya memproduksi tempe di Margaret River Tempeh, Australia Barat, tetapi Amita juga menularkan ilmu fermentasi tempe kepada anak-anak sekolah. Ia pun sering diundang menjadi pembicara tempe seperti yang dilakukannya di Bogor, Jawa Barat, beberapa pekan lalu.
Tujuh tahun memproduksi tempe, rasa tempe buatan Amita sama persis seperti tempe tradisional produksi perajin Indonesia. Namun, Amita membuat inovasi baru dengan keragaman tempe nonkedelai. Ia, antara lain, membuat tempe dari beras merah, biji bunga matahari, kacang hijau, dan kacang hitam. Kedelai yang dipakai pun hanya kedelai organik.
Harga jual tempe di Australia delapan kali lebih tinggi daripada di Indonesia. Bahan baku kedelai organik cukup melimpah, tetapi Amita harus mengimpor ragi dari Indonesia. Setiap dua hari sekali Amita memproduksi 50 kilogram tempe.
Menurut Ketua Forum Tempe Indonesia yang juga mengelola Rumah Tempe, Made Astawan, tempe menjadi unik karena proses produksinya. ”Kami bermimpi ingin jadi trend setter produksi tempe tingkat dunia,” kata Made.
Jika tempe begitu digandrungi di tingkat dunia, banyak orang yang akan bangga sebagai bangsa tempe. Salam tempe! (Mawar Kusuma)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.