Makanan tradisional paduan Tionghoa-Melayu ini terdiri atas mi putih atau soba berukuran seperti lidi. Mi berbahan baku dari beras khusus untuk nasi goreng ini disiram kuah kental dan gurih.
Kekentalan terasa karena menggunakan kacang hijau rebus dan kelapa parut yang disangrai. Kelapa parut sangrai juga berfungsi untuk memberikan rasa gurih. Kuah makin lengkap dan rasa menendang lidah karena paduan bumbu dapur seperti kunyit, jahe, lengkuas, kemiri, bawang merah, bawang putih, dan cabai. Sebagai pelengkap, kuah diberi potongan kentang.
Saat melahapnya, tidak lengkap jika tanpa suwiran atau sepotong daging ayam, hati, ampela, dan telur. Kelezatannya makin lengkap karena di atas laksa bertabur irisan daun kucai, seledri, dan bawang merah goreng.
Kawasan laksa
Di mana hidangan ini bisa dengan mudah ditemui? Datanglah ke Tangerang dan Bogor. Di dua kawasan ini dengan mudah ditemukan pedagang laksa, mulai dari penjual pikulan hingga yang diakomodasi dalam satu area pedagang laksa di Kawasan Kuliner Laksa Tangerang di ujung Jalan Mohammad Yamin, Kelurahan Babakan, Kecamatan Tangerang. Lokasinya dekat dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wanita Tangerang. Dari arah Patung Adipura, pusat kota, melajulah ke arah Jalan Mohammad Yamin.
Di kawasan ini terdapat satu saung memanjang. Saung bertiang bambu dan beratapkan ijuk ini diisi delapan pedagang laksa. Taman hijau yang tertata rapi dengan trotoar yang baik menyempurnakan keindahan dan kenyamanan kawasan itu.
Mampirlah ke kios laksa Kumis Bewok. ”Sudah empat tahun kami berdagang di sini (kawasan kuliner laksa). Sebelumnya, kami hanya berdagang pikulan di sekitar dan depan Lapas. Setelah ditertibkan, pemerintah kota membangun saung sebagai tempat kami berdagang secara resmi,” kata Atin (45), pedagang laksa.
Atin yang sudah 14 tahun berdagang laksa mengatakan, dalam sehari dia bisa menghabiskan 10 kilogram beras untuk laksanya. Untuk 1 kilogram beras menghasilkan 8-10 laksa yang dijual dengan harga Rp 10.000-Rp 16.000 per porsi, tergantung lauk yang dipilih.
Akulturasi Tionghoa
Penulis kuliner, terutama yang berlidah kurang sensitif, pasti kesulitan ketika membagi pengalaman secara proporsional dan obyektif terhadap makanan dan minuman yang dinikmati. Misalnya yang penulis rasakan saat mencicipi laksa di Bogor. Ada empat tempat yang didatangi seminggu ini dengan harapan mendapatkan pengalaman yang cukup utuh tentang laksa yang di Bogor katanya terpengaruh akulturasi keturunan Tionghoa itu.
Penulis merasa lidah kurang sensitif sehingga sulit menggambarkan kelezatan laksa suatu tempat dibandingkan dengan lainnya. Parameter yang lebih jelas adalah perbedaan harga dan wujud lokasi (warung tenda, pedagang kaki lima, atau rumah makan).
Tujuan pertama adalah Resto Bogaria di Jalan Suryakancana. Di sini penulis mencoba seporsi laksa ayam dan segelas es pala dengan total harga berkisar Rp 20.000-Rp 25.000.
Laksa di sini terdiri dari potongan lontong atau ketupat, telur rebus, tahu rebus, daging ayam masak dan disuwir, bihun, taoge, bawang goreng, daun kemangi, serta kuah santan yang kuning dan kental.
Penulis tidak mendapatkan potongan oncom pada kuah laksa itu. Mungkinkah ada udang rebon sehingga laksa ayam ini lebih cenderung ke gaya Betawi? Oh, ternyata tidak. Ini tetap laksa ayam tanpa oncom. Rasanya? Enak. Karena lidah kurang sensitif, bagi penulis cuma ada dua terminologi, enak dan enak!
Di hari lain, dicobalah laksa di Resto Istana Rasa di Jalan Siliwangi, Bogor. Istana Rasa berada di deretan kedai SotoMie Agih dan Ngohiang Gang Aut yang sudah kondang. Penulis mencicipi seporsi laksa ayam dan segelas es pala. Harganya berkisar Rp 20.000-Rp 25.000.
Laksa di Istana Rasa tidak jauh beda dengan Bogaria. Rasanya enak. Yang membedakannya hanya lokasi. Dari gerbang utama Kebun Raya Bogor, Bogaria akan dijangkau lebih dahulu, kemudian Istana Rasa. Jalan Suryakancana dan Jalan Siliwangi adalah ruas satu arah dari gerbang utama.
Kemudian, dekat pertigaan Jalan Siliwangi dan Jalan Sukasari, penulis menjajal seporsi laksa ayam dan segelas es pala ala Asinan Sedap Gedung Dalam. Harganya Rp 25.000-Rp 30.000. Bagi pemburu kuliner, aneka makanan dan minuman di Gedung Dalam sudah tak perlu diragukan kondangnya.
Laksa ayam Gedung Dalam juga tidak jauh berbeda dengan di Bogaria dan Istana Rasa. Rasanya memang enak. Dengan kucuran jeruk nipis, kuah santan yang kuning, kental, dan gurih itu makin menggetarkan lidah dengan sengatan rasa asam. Mau sensasi pedas? Mudah, tambahkan sambal. Mau nuansa manis gurih dan mengubah warna kuah? Tambahkan kecap.
Nah, pengalaman berbeda penulis dapatkan di laksa Mang Wahyu. Lokasinya di Gang Aut. Susuri Jalan Suryakancana sampai bertemu simpang empat pertama. Ke kiri adalah Jalan Roda, sedangkan ke kanan adalah Gang Aut. Susuri sedikit Gang Aut sampai pertigaan pertama, belok kiri, lalu terlihatlah warung tenda Mang Wahyu.
Apa bedanya? Harga lebih murah, yakni seporsi Rp 10.000. Bentuk warung jelas berbeda dengan restoran. Warung laksa itu sempit, berkapasitas maksimal 10 orang. Saat ramai pengunjung, lebih baik laksa itu dibawa pulang atau dimakan berdiri jika tempat duduk penuh pengunjung.
Laksa ala Mang Wahyu terdiri dari potongan ketupat, bihun, taoge, tahu rebus kuning, telur rebus yang dipotong separuh memakai benang, daun kemangi, dan oncom. Nah, oncom dan ketiadaan daging ayam yang membedakannya dengan laksa ayam ala rumah makan di Suryakancana, Siliwangi, dan Sukasari.
Kuah laksa Mang Wahyu itu kuning dan amat kental. Kekentalan yang amat itu karena pemakaian ampas kelapa parut yang dihaluskan. Kuahnya kian gurih dan terasa menggelitik kerongkongan. Pemakaian oncom membuat laksa tambah gurih dan sedikit ada nuansa kenyal. Jika ingin tambah sepotong tahu rebus Rp 2.000, sebutir telur rebus Rp 4.000, dan satu kerupuk Rp 1.000. Di warung Mang Wahyu tidak ada pelbagai jenis minuman. Yang tersedia adalah teh tawar. Namun, di samping warung tenda itu ada penjual es pala dan pelbagai minuman dalam kemasan.
Laksa dikenal ada beberapa jenis. Kata laksa diduga berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti ’banyak’. Dari sini diduga laksa adalah masakan yang diracik dari banyak bahan dan bumbu. Muncullah sejuta rasa dalam suguhan laksa. (Ambrosius Harto/Pingkan Elita Dundu)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.