Begitulah sekelumit suasana yang direkam saat mengikuti perjalanan jurnalistik pada akhir September lalu. Perjalanan ini dimulai dari Bandar Udara Soekarno-Hatta ke Bandar Udara Adi Sutjipto, Selasa (30/9/2014) pagi. Setiba di ”Kota Gudeg”, Yogyakarta, perjalanan berlanjut ke Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo untuk wawancara. Kemudian, perjalanan berlanjut ke Dataran Tinggi Dieng dan sempat makan siang di Magelang.
Sekitar pukul 16.30, rombongan tiba di Kilometer 42 Jalan Dieng, Patak Banteng, Kejajar, Wonosobo, Jawa Tengah. Saat itu, suhu udara 18-20 derajat celsius. Di samping kaki berdiri ada deretan pohon karika atau pepaya gunung. Di seberang adalah pabrik skala mikro Exotic Carica.
Mengusir penat
Menyedot larutan manis dari air, sari bit, dan gula pasir sungguh menyegarkan dan mengusir penat. Daging buah karika kenyal, segar, dan manis. Rasa serupa didapat ketika menikmati manisan karika yang kuning.
Tak lama kemudian, perjalanan dilanjutkan melihat petak ladang karika dan terung belanda di kaki Gunung Prau, Dieng, Kejajar. Petak itu berbeda di antara lainnya yang didominasi kentang. Petak budidaya karika dan terung belanda yang dikelola oleh Gabungan Kelompok Tani (CBO) Perkasa itu adalah contoh petani Dieng mulai berani meninggalkan ketergantungan pada budidaya kentang. Dari jalan aspal, mencapai petak itu perlu meniti pematang di lereng berkemiringan 60 derajat (curam).
Menurut Ketua CBO Perkasa Maaruf, budidaya kentang tidak ramah lingkungan. Hampir seluruh bukit bahkan yang curam dibabat dan ditanami kentang. Cara tanam tidak dengan terasering, tetapi lurus menghunjam mengikuti kontur. Di bukit yang curam, cara tanam itu mengakibatkan erosi. Dalam erosi, yang terbawa tidak cuma tanah, tetapi unsur hara penyubur. Tidak heran, produktivitas kentang kian anjlok. Biarpun digenjot dengan pemakaian pupuk kimia dan pestisida, produktivitas tetap rendah, tanah jenuh dan kritis.
Selepas maghrib, kunjungan dan wawancara di petak itu berakhir. Perjalanan berlanjut menuju penginapan (homestay) Kenari di Dieng Kulon, Batur, Banjarnegara. Tubuh yang letih karena perjalanan dan kegiatan perlu diistirahatkan. Perut yang lapar perlu diisi.
Penginapan itu sederhana, tetapi apik dan resik. Udara kian dingin saat malam. Tiada nyali untuk mandi air dingin saat malam. Tubuh yang sudah letih membuat malas mandi meskipun pemilik penginapan menyediakan air hangat. Yang tidak bakal dilewatkan tentu santap malam. Menu cukup menggiurkan, yakni mi rebus, ayam goreng, kentang goreng, nasi, lalapan timun, kerupuk, dan sambal cabai dieng yang gemuk seperti paprika dan lumayan pedas. Penawar dahaga ialah teh atau kopi sekaligus untuk pengusir dingin yang menusuk tulang.
Seusai makan, tiada yang lebih enak selain merebahkan badan yang terasa rontok. Siaran di televisi bahkan laga Liga Champions gagal menggoda tubuh berjaga. Kasur, bantal, dan selimut lebih menggoda. Maklum, dini hari tubuh harus bangun dan berangkat untuk menikmati keindahan matahari terbit dari puncak bukit.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.