Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tilas-Tilas Nagi Tanah

Kompas.com - 25/12/2014, 16:13 WIB

Menyusuri lorong-lorong kota, saya menemukan tori, kapela pribadi, di halaman rumah penduduk. Sekitar 14 tori dibangun oleh 14 klan di Larantuka, diperuntukkan sebagai tempat doa. Masing-masing tori menyimpan pusaka berupa patung, serta gambar-gambar suci warisan turun-temurun.

Sudah bukan rahasia lagi, tidak sedikit orang-orang Larantuka yang merupakan keturunan Portugis pelarian dari Melaka. Pada masa lampau, mereka dijuluki mestizos, atau dalam ungkapan Melayu dinamakan mardikas. Sama halnya orang-orang di kampung Tugu, Batavia (Jakarta), mereka menyimpan tilas-tilas leluhurnya dengan baik.

Saya mengunjungi tori Nuestra Senhora de Esperansa milik suku Lamakera di Waibalun didirikan pada 1599 yang menyimpan patung kuno St. Antonius Padua, Tori Mesti di Kampu dengan salib dari gading kepunyaan suku Ribeiro (Riberu) da Gomez, Tori Tuan Trewa empunya suku Fernandez, dan Tori Lokea kepunyaan suku Kean Diaz.

Kota Larantuka punya beberapa julukan: Matahari Flores, karena letaknya paling timur dari semua kota di Flores, kemudian Roma Mini, lantaran di sini terdapat banyak kapela yang letaknya berdampingan satu dengan yang lain, dan yang paling populer yaitu Kota Rainha. Untuk julukan yang saya sebutkan terakhir ini, warga Larantuka memberi apresiasi istimewa. Rainha merupakan kata dalam bahasa Portugis yang berarti 'ratu', dan ditujukan kepada Bunda Maria.

Syahdan, sebelum agama Katolik dianut penduduk, perkenalan dengan Bunda Maria telah terjalin melalui peristiwa mistis. Ditemukannya patung Sang Ibunda Kristus yang terdampar menjadi indikator awal. Penduduk yang masih animis menganggap patung setinggi 160 sentimeter itu sebagai wujud keramat.

Kelak disadari bahwa itulah gambaran Bunda Maria saat pelaut Portugis berlabuh ke Larantuka. Dari sanalah keterkaitan warga dengan Bunda Maria terjalin. Patung itu dikenal luas dengan sebutan Tuan Ma, dan bersamaan dengan masuknya agama Katolik serta budaya Portugis, Tuan Ma menjadi bagian tak terpisahkan. Bahkan, menjadi identitas Larantuka.

Setiap tahun warga menggelar salah satu tradisi warisan Portugis, Semana Santa. Kegiatan ini dihelat menyongsong Hari Raya Paskah yang biasanya jatuh pada awal April. Sepekan penuh warga berkabung mengenang kesengsaraan Yesus.

Puncaknya, pada Hari Jumat yang mereka sebut Sesta Feira. Warga dan peziarah dari berbagai belahan bumi berkumpul, mengenakan pakaian serba hitam. Drama penderitaan Mesias pun dihadirkan, iring-iringan kapal melintasi selat membawa relik suci. Tuan Ma yang berparas sendu ditandu mengelilingi kota. Doa dan tangis membubung bersama dupa dan asap lilin. Seorang gadis akan tampil melantunkan syair pilu Tuan Ma, Si est dolor sicut dolor meus? "Adakah duka sebesar dukacitaku?

"EMPAT puluh ribu langsung berangkat," ujar pemungut karcis di dermaga mungil Pante Palo. Saya ingin menyeberang ke Adonara, pulau yang langsung berhadapan dengan Larantuka. Pulau ini hanya terpisahkan selat tak sampai 500 meter.

"Jika ingin menunggu sejenak dan berangkat dengan penumpang lain, harganya turun setengah. Itu untuk penumpang bersepeda motor. Tanpa kendaraan, cuma sepuluh ribu," lanjutnya. Nah, otomatis saya pilih opsi kedua. Rp 20.000, lebih hemat. Lagi pula saya menafsir penyeberangan ini berlangsung kurang dari tujuh menit.

Adonara adalah pulau vulkanik. Dataran tak seberapa lebar hanya ditemui di area pesisir. Ile Boleng, gunung setinggi 1.659 mdpl merupakan mahkotanya. Tahun ini Adonara nyaris saja lepas dari wilayah Flores Timur, membentuk kabupaten sendiri. Entah kenapa, akhirnya batal. Padahal, tidak sedikit warga yang bersorak senang, berharap status otonomi membawa perubahan.

Wisata di pulau seluas 509 kilometer persegi ini tampaknya baru dalam tahap pemetaan, sama sekali belum dikelola. Pantai-pantai bisa diandalkan, namun masih sebatas tempat berleha penduduk setempat. Saya menyukai Pantai Watotena yang berpasir putih. Bebatuan magmanya berformasi unik.

Penelusuran di Adonara pun menarik saya pada kisah eksplorasi penjelajah Eropa. Jalan lengang yang diapit pepohonan nyiur dengan daun menutupi langit adalah setting pas jika ingin berimaji tentang "pencarian dunia baru".

Kampung kecil bernama Wure nyata beraroma laut, tampil bestari oleh gereja-geraja mungil yang fondasi tambonya juga diprakarsai oleh para kelasi kapal Portugis. Sebuah salib Cruz de Aviz yang merupakan simbol Raja Portugal dari dinasti kedua terpancang di jalur ziarah tepi laut.

Pengalaman menggetarkan di Wure terjadi tatkala saya diantar untuk melihat patung kayu Kristus Berduka di kapela Cruz Costa. Berumur ratusan tahun, patung tersebut setinggi badan pria dewasa, rona sengsara penuh bilur, dan tatapan matanya begitu hidup tertuju ke arah saya, membuat merinding.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com