Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tilas-Tilas Nagi Tanah

Kompas.com - 25/12/2014, 16:13 WIB

Penjaga kapela ini, Bapa Domi, me­nunjukkan sikap hormat teramat dalam setiap ia hendak menunjukkan pusaka suci kapela. Seakan-akan tiada yang lebih berarti dalam hidupnya selain mengurusi kapela kecil ini. "Sejak remaja hingga umur hampir 80 tahun sekarang, saya tidak bisa memisahkan diri dari Cruz Costa. Pernah beberapa kali pergi jauh, tetapi hati saya selalu menyuruh untuk pulang."

PULAU Solor bernaung awan kelabu saat saya menjejakinya. Sebagian perbukitan tertutup kabut. Jalan aspalnya yang luka menyiratkan kesan angker lantaran kerap dibumbui kompleks pekuburan di sisi kiri kanan. Pulau ini aneh, jejeran pusara lebih gampang ditemui ketimbang kampung-kampungnya. Seorang ibu menyarankan saya untuk mengunjungi Karawatung. "Rumah-rumah adat di sana banyak," katanya.

Lokasi kampung Karawatung berada di tengah ladang, terpisah dari permukiman, dan tidak dihuni siapa-siapa. Padahal, astaga, kampung ini terisi hampir dua puluh rumah tradisional!

Karawatung disebut sebagai kampung komunal perdana sekaligus terbesar di Solor. Karenanya, ritual adat selalu diselenggarakan di sana. Yang paling ditunggu-tunggu warga yakni Berauk, upacara syukuran massal yang dihelat usai panen. Dimulai dengan pencarian hari baik (elo) oleh kepala adat dengan memantau posisi bulan, disusul pengirisan nira untuk minuman (tada tua keli) dan pembagian jawawut sebagai simbol kesuburan (seo wata blolon). Puncak ritual Berauk ditandai dengan datangnya semua warga ke kampung Karawatung, baik yang di Solor maupun yang merantau. Selain doa dan tarian, pokok dari Berauk yakni pembagian lori, nasi yang dibentuk bulat-bulat, kepada tiap kepala keluarga.

KAPAL membawa saya kembali ke Larantuka. Bayang-bayang menjulang gunung Ile Mandiri, Ile Boleng, dan gunung kembar Lewotobi meretas pikiran saya akan kemasyhuran silam daerah ini. Saya sadar, baik Larantuka, Adonara, maupun Solor, ketiganya pernah memainkan peranan besar bagi peradaban Flores.

Akankah tempat-tempat ini sekadar dikenang sebagai tilas-tilas? Sekadar remah-remah sejarah? Pikiran saya pun beradu cepat dengan desir angin, hilang-muncul antara kronik masa lalu dan harapan masa depan Nagi Tanah.

(Valentino Luis)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com