”Sesuai nasihat dan pesan para leluhur, setidaknya setiap keluarga suku Dayak harus memiliki sebuah mandau yang disimpan di rumah. Mandau disimpan di dalam kamar tidur dan tidak boleh diletakkan di ruang tamu,” katanya.
Maksud dari menyimpan mandau di dalam kamar tidur, menurut Sobat, untuk pertahanan diri jika ada pencuri atau penjahat yang masuk ke dalam rumah. Jika mandau diletakkan di ruang tamu, yang terjadi bisa saja justru pencurilah yang menguasai mandau tersebut.
Untuk memberi kesan hidup, mandau pun diberi hiasan berupa rambut yang berasal dari ekor kerbau, kuda, atau domba.
Dahulu kala, mandau dipakai sebagai senjata untuk berperang melawan musuh dan mengayau atau memenggal kepala musuh. Saat ini, mandau disimpan sebagai pusaka dan dipakai untuk sejumlah upacara adat, terlebih dipakai ketua adat serta mantir adat.
Upacara adat tersebut antara lain upacara tiwah atau memindahkan tulang kerangka leluhur ke dalam suatu rumah atau tempat yang disebut sandung, upacara menyambut tamu atau potong pantan, upacara pernikahan, dan juga dipakai sebagai aksesori dalam tari mandau.
”Saat ini minat orang terhadap mandau semakin sedikit. Penurunan minat itu diduga karena tergerus modernitas. Orang muda di sini pun belum tentu bisa memakai atau mengeluarkan mandau dari kumpangnya secara benar,” kata pemilik industri rumah tangga bernama Kahias Atei yang berarti hati yang ulet itu.
Karena butuh keuletan dan kesabaran itulah, kata Sobat, minat orang untuk membuat mandau semakin sedikit.
”Saya bersedia mengajarkan dan mewariskan cara membuat mandau, tetapi sulit menemukan orang yang mau,” ucap Sobat.
Sobat mendapatkan keahlian membuat mandau dari sang ayah, almarhum Dewel Sinarbulung. Keahlian itu diwariskan turun-temurun dari nenek moyangnya yang merupakan seorang datuk di Desa Tumbang Tambirah, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Sang datuk bernama Singa Anggen.
Sobat merupakan keturunan generasi keenam dari Datuk Singa Anggen.