Basoeki melukis pasangan Ferdinand dan Imelda Marcos sejak 1977, tetapi lukisan tercantik Imelda Marcos dilukis sang maestro pada 1981. Begitu pula lukisan Ferdinand Marcos dilukis pada 1981. Pun lukisan potret terbaik Sultan Hassanal Bolkiah. Ketiga lukisan itu sama-sama hanya melukis wajah, kekuatan utama Basoeki. Ketiga lukisan yang sama-sama tidak menghadirkan garis anatomi tubuh, yang seperti memang bukan kekuatan Basoeki.
Basoeki dan pahlawan
Indonesia punya maestro lainnya, S Soedjojono, yang tak hanya disebut-sebut sebagai ”bapak seni lukis modern Indonesia”, tetapi juga seorang kritikus seni yang ”kejam” mengomentari lukisan Basoeki Abdullah. Basoeki adalah pelukis naturalis, khususnya pelukis potret, yang sangat piawai, dielu-elukan oleh publik Indonesia dan mancanegara. Namun, Soedjojono justru menyebut Basoeki ”cuma” pelukis Mooi Indie yang kebarat-baratan, cuma punya ”kebagusan”, tetapi tanpa roh. Basoeki juga berjarak dari Affandi, maestro ekspresionis yang pernah ditolaknya menjadi murid karena dianggap tak berbakat.
”Perang dingin” ketiganya didamaikan oleh Ciputra. Sang kolektor lukisan ketiga maestro itu mempertemukan Basoeki, Soedjojono, dan Affandi pada 1989, dan dokumentasi ”perdamaian” itu pun dihadirkan dalam pameran yang berlangsung di Museum Nasional pada 21-30 September itu. Lukisan ketiga maestro juga disandingkan di sana.
Namun, tudingan Soedjojono bahwa Basoeki cuma seorang ”Mooi Indie” telanjur tercatat linimasa sejarah seni rupa Indonesia. Mungkin itulah sebab Mikke dan Bambang menyandingkan dokumentasi ”perdamaian” Basoeki, Soedjojono, dan Affandi dengan belasan cetak digital lukisan para pahlawan karya Basoeki—yang ternyata lekat diingat.