Memori
Pencucian gamelan sekati juga mengajak seisi Keraton Kanoman untuk mengulik kembali memori perjalanan pusaka tersebut. Awalnya, hanya keluarga keraton yang berhak memainkan, bahkan menyentuh pusaka itu.
"Tapi, beberapa generasi selanjutnya, abdi dalem termasuk nayaga," ujar Pengeran Sep Sekaten Muhammad Nurrahim, pemimpin nayaga.
Adapun wakil pemimpin nayaga dijabat oleh Lurah Keraton Kanoman yang berasal dari abdi dalem. Hal ini, menurut Nurrahim, memberikan gambaran bahwa pencucian gamelan menjadi media kebersamaan dalam lingkungan keraton.
Di Keraton Kasepuhan Cirebon, pencucian pusaka juga dilakukan sejak berabad-abad silam. Salah satunya adalah alat makan para Wali Songo yang dicuci pada 5 Maulud, untuk digunakan pada upacara puncak Panjang Jimat. Sembilan piring atau disebut tabsi itu hanya dikeluarkan kepada khalayak sekali setahun pada peringatan Maulid.
Pusaka yang konon berumur lebih dari 500 tahun itu digunakan para Wali Songo saat bersilaturahim serta bermusyawarah membicarakan berbagai hal, seperti keumatan dan penyebaran Islam.
"Pencucian pusaka tidak hanya soal pentingnya menyucikan diri, tetapi juga mengingatkan kita bahwa para wali senantiasa bersilaturahim dan berkomunikasi jika ada masalah," ujar Sultan Keraton Kasepuhan XIV, Pangeran Raja Adipati (PRA) Arief Natadiningrat.
Bahkan, menurut Arief, perabotan makan tersebut menjadi saksi bisu para Wali Songo ketika akan mengadili Syekh Siti Jenar, seorang wali di Jawa yang kontroversial karena dianggap menyebarkan ajaran sesat, pada awal abad ke-16 Masehi.
Ia menambahkan, para wali rela menempuh jarak yang jauh untuk berkumpul bersama di Cirebon. "Sekarang, komunikasi antarsesama manusia rasanya sulit, padahal sudah ada alat komunikasi dan sebagainya," kata Arief.
Namun, Arief mengakui, pesan tersebut belum sepenuhnya sampai di masyarakat. Bahkan, tidak sedikit masyarakat yang sampai berebutan air kembang bekas pencucian pusaka. Air tersebut dianggap berkah.