Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mencuci Pusaka, Merawat Kebersamaan

Kompas.com - 04/01/2016, 10:09 WIB
UMURNYA paling tidak sudah 500 tahun. Namun, suaranya tetap merdu, mengundang ratusan pasang telinga. Kehadiran gamelan sekati yang hanya dibunyikan sekali setahun untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW tersebut memang selalu dinanti.

Selepas isya, Minggu (20/12/2015), suara gamelan sekati membahana di seantero Keraton Kanoman, di salah satu pusat Kota Cirebon, Jawa Barat. Irama selaras keluar dari pusaka yang terdiri dari, antara lain, bonang, rincik, saron, beduk, dan gong besar. "Deng..ting.teng," begitulah cuplikan suaranya.

Bunyi gamelan itu seakan mampu menggantikan celoteh para pedagang di sekitar Bangsal Sekaten, tempat gamelan ditabuh. Indah suaranya tetap terjaga, salah satunya karena ritual Nyiram Gong Sekati atau pencucian gamelan sekati.

Sebelumnya, pada Minggu pagi, di Langgar Keraton, ratusan pasang mata menyaksikan pencucian gamelan berwarna kuning tua itu.

Satu per satu perangkat gamelan dibasuh dengan air bercampur kembang, ditaburi batu bata merah halus, dan diusap dengan tepes (kulit kelapa kering). Sejak dahulu, penggunaan bahan itu dianggap dapat menjaga kualitas suara dan bentuk gamelan.

Pencucian dilakukan oleh lebih dari 20 nayaga, sebutan bagi kerabat keraton dan abdi dalem yang dipercayakan mencuci dan memainkan gamelan sekati.

Sebelumnya, sesepuh keraton menjelaskan tujuan Nyiram Gong Sekati dan memanjatkan doa kepada leluhur. Tak ada kebisingan, semua seakan-akan larut mengikuti tahapan demi tahapan.

Tidak hanya soal menjaga kualitas bunyi, pencucian itu juga menjadi ajang berkumpulnya keluarga Keraton Kanoman, abdi dalem, dan masyarakat dari Cirebon dan daerah lain.

Dalam waktu sejam itu, masyarakat dapat bersama Patih Kanoman Pangeran Raja Mochammad Qodiran dan Sultan Kanoman XII Sultan Raja Muhammad Emirudin.

"Pencucian ini bermakna menyucikan diri demi menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW. Salah satu contoh kesucian diri adalah hubungan yang baik sesama manusia," ujar juru bicara Keraton Kanoman, Ratu Arimbi.

Gamelan sekati dapat menjadi contoh media perajut kebersamaan. Pada tahun 1520, Sultan Demak II Adipati Unus memberikan perangkat gamelan sekati sebagai hadiah pernikahan kepada putri Sunan Gunung Jati, Ratu Wulung Ayu.

Dalam perjalanannya, pusaka tersebut juga digunakan sebagai media penyebaran ajaran Islam melalui tembang dari tabuhan gamelan sekati. Kala itu, imbalan untuk dapat menyaksikan pertunjukan gamelan sekati adalah syahadat. Konon, sekati berasal dari kata 'syahadatain' atau 'bersyahadat'.

"Tapi, itu bukan paksaan. Baik Muslim maupun nonMuslim dapat menyaksikan gamelan sekati ditabuh," lanjut Arimbi.

Dentuman pusaka tersebut terdengar mulai 7 Maulud hingga 12 Maulud atau puncak acara Maulid Nabi Muhammad SAW, yakni Panjang Jimat. Gamelan dibunyikan pada pagi, siang, sore, dan malam, kecuali malam Jumat lalu.

Memori

Pencucian gamelan sekati juga mengajak seisi Keraton Kanoman untuk mengulik kembali memori perjalanan pusaka tersebut. Awalnya, hanya keluarga keraton yang berhak memainkan, bahkan menyentuh pusaka itu.

"Tapi, beberapa generasi selanjutnya, abdi dalem termasuk nayaga," ujar Pengeran Sep Sekaten Muhammad Nurrahim, pemimpin nayaga.

Adapun wakil pemimpin nayaga dijabat oleh Lurah Keraton Kanoman yang berasal dari abdi dalem. Hal ini, menurut Nurrahim, memberikan gambaran bahwa pencucian gamelan menjadi media kebersamaan dalam lingkungan keraton.

Di Keraton Kasepuhan Cirebon, pencucian pusaka juga dilakukan sejak berabad-abad silam. Salah satunya adalah alat makan para Wali Songo yang dicuci pada 5 Maulud, untuk digunakan pada upacara puncak Panjang Jimat. Sembilan piring atau disebut tabsi itu hanya dikeluarkan kepada khalayak sekali setahun pada peringatan Maulid.

Pusaka yang konon berumur lebih dari 500 tahun itu digunakan para Wali Songo saat bersilaturahim serta bermusyawarah membicarakan berbagai hal, seperti keumatan dan penyebaran Islam.

"Pencucian pusaka tidak hanya soal pentingnya menyucikan diri, tetapi juga mengingatkan kita bahwa para wali senantiasa bersilaturahim dan berkomunikasi jika ada masalah," ujar Sultan Keraton Kasepuhan XIV, Pangeran Raja Adipati (PRA) Arief Natadiningrat.

Bahkan, menurut Arief, perabotan makan tersebut menjadi saksi bisu para Wali Songo ketika akan mengadili Syekh Siti Jenar, seorang wali di Jawa yang kontroversial karena dianggap menyebarkan ajaran sesat, pada awal abad ke-16 Masehi.

Ia menambahkan, para wali rela menempuh jarak yang jauh untuk berkumpul bersama di Cirebon. "Sekarang, komunikasi antarsesama manusia rasanya sulit, padahal sudah ada alat komunikasi dan sebagainya," kata Arief.

Namun, Arief mengakui, pesan tersebut belum sepenuhnya sampai di masyarakat. Bahkan, tidak sedikit masyarakat yang sampai berebutan air kembang bekas pencucian pusaka. Air tersebut dianggap berkah.

Nilai moral

Eman Suryaman dalam bukunya, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Sejarah Faktual dan Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita-Raja), upacara tradisi, seperti pencucian pusaka, menjadi media pelestarian nilai-nilai moral Sunan Gunung Jati. Itulah sebabnya benda pusaka itu tetap dirawat sejak upacara tradisi Maulid Nabi Muhammad diadakan besar-besaran kali pertama pada tahun 1479.

Pencucian pusaka juga dilakukan di Kaprabonan, salah satu tempat pembelajaran Sunan Gunung Jati. Menjelang puncak Maulid, sejumlah pusaka yang berumur ratusan tahun milik Pangeran Raja Adipati Kaprabonan, seperti keris, tombak, dan pedang, dibersihkan.

Sebelum pencucian pusaka, terlebih dahulu sesepuh Kaprabonan membaca doa, salawat, dan membagikan sedekah kepada sejumlah anak yatim.

"Selain mencegah rusaknya pusaka, tradisi ini juga seharusnya mengingatkan kita bahwa sedekah itu salah satu bentuk menyucikan diri," ujar Sultan Kaprabonan Pangeran Hempi Raja Kaprabon.

Tahun demi tahun, di Cirebon, Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Kaprabonan menjaga tradisi pencucian pusaka sehingga masih lestari.

Meskipun seluruh maknanya belum mampu ditangkap oleh khalayak, masyarakat keraton tetap berusaha menyampaikan makna tradisi tersebut. Mencuci pusaka tidak hanya soal menyucikan benda, tetapi juga merawat kebersamaan.

Saat Panjang Jimat telah usai, gong sekati, alat makan Wali Songo, dan sejumlah pusaka lainnya kembali disimpan rapi, dan akan dibuka tahun depan. Semoga pusaka itu tetap utuh di tengah hubungan antarsesama manusia yang kini rapuh. (Abdullah Fikri Ashri)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com