Asal mula "bebegig"
Leluhur Sukamantri, yakni Prabu Sampulur, yang menjadi penguasa wilayah itu ratusan tahun lalu, khawatir sumber air itu diganggu oleh orang- orang yang tidak bertanggung jawab.
Lalu ia membuat bebegig, berupa topeng dengan karakter makhluk menyeramkan. Rambutnya terbuat dari ijuk kawung (aren) yang terurai panjang ke bawah, dilengkapi mahkota dari bunga tanaman hutan bubuay dan daun waregu (sejenis palem hutan) yang tersusun rapi di atas topeng.
Selanjutnya, topeng-topeng kulit kayu itu dipasang di pohon-pohon besar yang ada di sekitar Tawang Gantungan.
Konon, karena kesaktian Sang Prabu, orang yang berniat jahat akan melihat topeng itu seolah-olah bagaikan makhluk tinggi besar menyeramkan yang siap menerkam. Orang jahat pun ketakutan.
”Sejak itu, keturunan Eyang Prabu melanjutkan tradisi tersebut sehingga tumbuhlah seni tradisi bebegig Sukamantri,” tutur Cucu.
Bebegig atau orang-orangan sawah yang terbuat dari rangkaian tanaman kering sudah dikenal di pelosok daerah pertanian Jawa Barat.
Orang-orangan itu biasanya ditancapkan di tengah sawah dan digerakkan dengan menggunakan tali yang dibentangkan ke saung sawah di pematang atau daratan.