Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bus "Pembangunan Semesta", Angkutan ke Tangkahan yang Penuh Drama

Kompas.com - 18/05/2016, 11:35 WIB
Silvita Agmasari

Penulis

KOMPAS.com-Jika Anda ingin berkunjung ke Tangkahan, salah satu destinasi ekowisata di pedalaman Sumatera Utara yang juga termasuk di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser maka hanya ada dua pilihan transportasi ke sana, yakni dengan menyewa kendaraan pribadi atau naik angkutan umum.

Naik kendaraan pribadi tentu lebih menghemat waktu. Total perjalanan tiga jam akan Anda tempuh jika naik kendaraan pribadi dari Medan, tetapi kocek yang Anda keluarkan tentu lebih dalam daripada naik kendaraan umum.

Masalahnya untuk menuju Tangkahan dari Medan hanya ada satu pilihan angkutan umum, yakni bus "Pembangunan Semesta". Saya dan dua orang teman saya yang menganut konsep backpacker tentu memilih angkutan umum.

Prinsip kami tak apa lama yang penting murah dan selamat. Prinsip lainnya tak boleh mengumpat karena pilihan sendiri seperti perjalanan kami yang penuh drama dengan bus "Pembangunan Semesta".

Untuk menuju Tangkahan menggunakan bus, cara paling mudah adalah menuju pangkalannya di Terminal Pinang Paris, Medan. Bus "Pembangunan Semesta" punya jadwal berangkat tetap yakni pukul 10.00 dan pukul 13.00.

Armadanya memang terbatas, hanya ada dua setiap hari. Itupun dari awal Anda harus bertanya apa busnya sampai ke Tangkahan atau tidak. Ada bus meski dengan trayek Tangkahan tak berhenti sampai final. 

Jangan juga berharap bus ini seperti bus lintas kota pada umumnya, kursi empuk yang bisa disandarkan, full AC, dan musik. Di bus "Pembangunan Semesta" semua itu nihil dan harus ikhlas dengan kondisi sangat sederhana. Maklum untuk trayek 100 kilometer, bus ini hanya dibanderol tarif Rp 25.000 perorang.

Saat berada di Terminal Pinang Baris berhati-hatilah, sebab banyak oknum yang mencoba berniat jahat, apalagi jika Anda bertampang turis. Seperti saya dan dua teman saya yang dihampiri seorang laki-laki. Pura-pura baik bertanya mau kemana dan mengantar mengejar bus "Pembangunan Semesta" yang sudah berangkat dari Pinang Baris. Laki-laki ini minta ongkos hampir dua kali lipat lebih mahal.

"Ongkosnya seorang 40 (Rp 40.000)," katanya dengan lantang ketika saya dan dua orang teman saya duduk di dalam bus.

Semua penumpang yang mayoritas ibu-ibu melihat ke kami dan laki-laki tersebut. Belum sempat dia meminta ongkos lagi (sebab saya masih tak mau memberi ongkos), seorang laki-laki lain naik dan berteriak. "Siapa yang mau ke Tangkahan tadi?!"

"Saya pak!" jawab saya tak kalah lantang.

Laki-laki berusia paruh baya tersebut kemudian berteriak pada orang yang meminta ongkos kepada kami.

"Kau jangan macam-macam ya, ini orang kita juga. Jangan kau begitu kan. Bisa rusak semuanya! Ongkosnya Rp 25.000. Kalau orang bule tak apa-apa!" ujar laki-laki paruh baya yang ternyata sopir bus.

"Kalau kau mau minta ongkos rokok, biar saya yang beri! Jangan minta mereka!," ujar sopir.

Suasana bus memanas, semua penumpang sampai pejalan kaki ditrotoar juga menonton drama antara saya dan teman-teman, sopir bus, serta laki-laki yang ia sebut sebagai preman. Adegan ini mengingatkan saya akan sinteron Indonesia yang penuh drama.

Akhirnya adegan penuh drama selesai setelah oknum tersebut diusir oleh sopir ke luar bus. Tetapi setelah saya bayar uang ongkos tiga orang dengan lembaran Rp 100.000 ke kenek bus, kembaliannya tak pernah saya dapatkan. "Diambil sama orang tadi," lapor kenek bus yang masih remaja ke sopir bus.

Drama masih berlanjut, menumpang bus "Pembangunan Semesta" ternyata memiliki cerita yang unik. Di tengah perjalanan, bus sering berhenti untuk menaikkan penumpang.

Mulai dari anak sekolah, orang tua dengan anak kecil, sampai pedagang kelontong. Misalnya saja saat seorang ibu menghentikan bus dan berkata, "Tunggu sebentar saya mau bawa beras dan ikan".

Ya, berasnya berkarung-karung dan ikannya ada di keranjang. "Beras saya jatuh ke jalan," katanya.

Ada lagi jika bus sudah penuh sesak, anak sekolah yang laki-laki entah pengorbanan atau karena sensasi menantang adrenalin, naik ke atap bus. Saat bus berhenti dengan rem mendadak semua penumpang di atap bus akan berteriak seru bercampur ngeri. Padahal saat bus kosong, anak-anak sekolah ini juga tak niat beranjak turun dari atap bus.

Total perjalanan yang saya habiskan untuk sampai ke Tangkahan dengan bus ini adalah 4,5 jam, melalui jalan berkontur mulus dan berbatu, lebar serta sempit, hujan dan tandus.

Lelah memang, tetapi saya menikmati perjalanan tersebut. Sopir dan kenek bus sangat informatif, penumpang ramah, dan tak ada tukang asongan atau pengamen yang memaksa.

Dari perjalanan ini saya melihat sisi Indonesia yang lain, di mana infrastruktur pedalaman masih sangat minim dan masyarakat majemuk Indonesia yang penuh kisah. Semua dari atas bangku bus "Pembangunan Semesta"...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com