Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kuburan Bayi di Pohon Tarra

Kompas.com - 26/05/2016, 13:20 WIB
Jodhi Yudono

Penulis

Toraja Hari kedua

Semalam kami menginap di Hotel Mentirotiku, Batu Tumongga, Toraja Utara. Batutumonga merupakan kota kecil yang terletak di lereng Gunung Sesean di kecamatan Sesean Suloara, terletak 24 km sebelah utara kota Rantepao, yang memiliki panorama indah.

Sepanjang perjalanan dari kota Rantepao menuju Batutumonga kami melintasi jalan yang berkelok-kelok mendaki. Untunglah, pada beberapa titik pendakian kami disuguhi panorama yang eksotik berupa jajaran gunung batu yang legam maupun persawahan dan pepohonan nan rindang.

Kami tiba di Batutumonga kemarin, saat matahari pulang ke barat. Hotel Mentirotiku berada persis di salah satu kelokan jalan, tepat di atas gundukan batu besar yang di dalamnya terdapat kubur batu. Dari hotel inilah, kami bisa memandangi kota Rantepao dan Lembah Sa’dan yang dilingkupi kabut saat senja dan pagi tiba. Maklumlah, Hotel dan Restoran Mentirotiku berada ketinggian 1352 m dpl.

Menurut cerita penjaga resto, sebelum Restoran Mentirotiku didirikan, tempat ini merupakan rumah pemilik restoran ini yang biasa disapa Pong Sobon, berupa tongkonan (rumah adat Toraja) yang sering menjadi tempat persinggahan wisatawan untuk beristirahat sambil menikmati keindahan alam. Atas saran dari guide dan wisatawan maka pada tahun 1990 restoran Mentirotiku didirikan.

Pagi ini kami dijadwalkan untuk melakukan wisata tracking melintasi lembah berupa ladang dan persawahan menuju Desa Sesean Suloara.

Tapi sebelum melakukan tracking, kami mampir ke pekuburan batu Lo’ko Mata yang terletak di ketinggian 1458 m dpl. Nama Lo’ko’ Mata sendiri konon karena pekuburan batu alam ini menyerupai kepala manusia. Tetapi menurut penduduk setempat, liang Lo’ko’ Mata sebelumnya bernama Dassi Deata atau Burung Dewa, lantaran pada liang-liang batu itu kerap dijadikan tempat bersarang dan bertengger berbagai jenis burung yang indah warna bulunya dengan bunyinya yang indah namun kadang menakutkan.

Kompas.com/Jodhi Yudono Pekuburan batu Lo’ko Mata yang terletak di ketinggian 1458 m dpl.

Syahdan, pada abad ke-14 (1480) datanglah seorang pemuda bernama Kiding memahat batu raksasa ini untuk makam mertuanya yang bernama Pong Raga dan Randa Tasik. Selanjutnya pada tahun 1675, lubang rang kedua dipahat oleh Kombong dan Lembang. Dan pada abad ke-17 lubang yang ketiga dibuat oleh Rubak dan Datu Bua’. Liang pahat ini tetap digunakan sampai saat ini. Luas areal objek wisata Lo’ko’ Mata ±1ha dan semua lubang yang ada sekitar 60 buah.

Puas memotret dan dipotret serta mendengarkan cerita tentang situs pekuburan Lo'ko' Mata, kami pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Dari arah Lo'ko' Mata, kami melewati jalan setapak yang menurun.

Mula-mula kami melewati hutan bambu yang mengapit jalan di kanan dan kiri kami. Setelah sekira setengah jam perjalanan, kami menemukan dua tongkonan yang besar, sebelum akhirnya kami menemukan puak kecil yang ditinggali hanya beberapa keluarga. Setelah sekira 15 menit beristirahat di kampung berpenghuni ini, kami pun mulai berjalan kembali.

Sawah.... Ya, ini kali kami harus berjalan melintasi persawahan yang luas. Musim panen rupanya telah berlalu. Sehingga kami hanya mendapati tanaman padi yang masih muda. Bahkan pada beberapa lokasi sawah, kami mendapati beberapa petani sedang mulai menanam padi.

Beberapa kali kami harus terperosok ke lumpur sawah. Saya bahkan sempat tergelincir cukup dalam saat melewati pematang kecil yang licin. Untunglah tak membuat cedera maupun kerusakan pada kamera yang saya bawa.

Yang menarik pada perjalanan ini tentu saja bukan hanya hamparan hijau tanaman padi, sebab pada tanah persawahan itu juga terdapat banyak gundukan batu hitam dalam berbagai ukuran. Sementara di latar belakangnya adalah gunung yang menghijau, panorama yang kerap kita jumpai pada lukisan tradisional Indonesia yang mengajikan pemandangan alam pedesaan.

***

Setelah lima jam berjalan, sampailah kami di pos terakhir di kampung Pana'. Pana' adalah sebuah desa yang dikenal dengan makam-makam alaminya yang dibangun di atas tebing. Makam-makam ini sudah ada sejak beberapa abad lalu. Ada juga sebuah pohon yang digunakan untuk mengubur mayat-mayat bayi, di mana pengunjung masih dapat melihat potongan-potongan pakaian yang digunakan untuk menutupi mayat.

Kuburan bayi ini disebut Passiliran. Hanya Bayi yang meninggal sebelum giginya tumbuh dikuburkan di dalam sebuah lubang di pohon Tarra‘. Bayi-bayi tersebut dianggap masih suci. Pilihan Pohon Tarra‘ sebagai pekuburan karena pohon ini memiliki banyak getah, yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu. Mereka menganggap seakan akan bayi tersebut dikembalikan ke rahim ibunya. Dan berharap, pengembalian bayi ini ke rahim ibunya akan menyelamatkan bayi-bayi yang lahir kemudian.

Pohon Tarra‘ yang menjadi pekuburan ini memiliki diameter cukup besar, sekitar 80 – 100 cm sampai 300 cm. Dibuat Lubang pada pohon untuk menguburkan bayi , yang kemudian ditutup dengan ijuk pohon enau. Pemakaman ini hanya dilakukan oleh orang Toraja pengikut Aluk Todolo (kepercayaan kepada leluhur).

Pelaksanaan Upacara secara sederhana. Dan Bayi yang dikuburkan begitu saja tanpa di bungkus, bagai bayi yang masih berada di rahim ibunya.

Penempatan jenazah bayi di pohon ini, sesuai dengan strata sosial masyarakat. Makin tinggi derajat sosial keluarga itu maka makin tinggi letak bayi yang dikuburkan di batang pohon tarra.

Bayi yang meninggal dunia diletakkan sesuai arah tempat tinggal keluarga yang berduka. Setelah puluhan tahun, jenazah bayi itu akan menyatu dengan pohon.

Kompas.com/Jodhi Yudono Tarian Pa'gellu di Kecamatan Sesean Suloara

Setelah kami terpana dengan segala yang kami dapati di Pana', kami pun mrlanjutkan perjalanan ke atas bukit, tepatnya di Kecamatan Sesean Suloara dengan berkendara. Di halaman tongkonan yang besar, kami disambut tarian Pa'Gellu yang ditarikan oleh lima perempuan muda dan juga permainan Ma'Karombi atau karinding oleh pak tua bernama Nek Biring atau dipanggil juga Nek Ting Tong (sesuai bunyi musiknya) atau Nek Karombi'. Nama aslinya sendiri Philipus Randan, kelahiran 1932.

Hari merambat sore. Kabut pelan-pelan mulai memeluk kami. Seusai makan, hujan menyempurnakan perjalanan hari kedua di bumi Toraja.

(bersambung)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com