Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyaksikan Tortor Batak Asli Tak Perlu ke Lagu Boti, di Medan Juga Ada

Kompas.com - 30/05/2016, 13:18 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis

Pesta rakyat adalah momentum yang harus disyukuri, dan ada momentum lain, yaitu Kota Medan adalah kota multikultur dan kota toleransi. "Pesan dari program ini adalah tidak ada lagi eksklusivitas untuk teman-teman Parmalim dan Ugamo Bangsa Batak karena kelompok-kelompok ini tersebar hampir di seluruh Indonesia. Sama nasibnya, sedang berjuang untuk diakui," ujarnya disambut tepuk tangan.

Para penghayat agama leluhur Batak ini, menurut data ASB, sebanyak 5.026 jiwa atau 0,14 persen dari 12.985.075 jiwa penduduk Sumatera Utara adalah penganut Parmalim, Ugamo Bangso Batak, Pemena, Habonaro Do Bona, dan lainnya.

Untuk Parmalim, Ras-nya tersebar di beberapa kabupaten dan kota seperti Medan, Simalungun, Samosir, Toba Samosir, Tapanuli Utara, dan pusatnya di Huta Tinggi. Di Medan, ada 373 jiwa Ras Parmalim yang tersebar di 10 kecamatan, sebagian berada di wilayah Kabupaten Deli Serdang.

Sementara komunitas Ugamo Bangso Batak di Sumut terdapat di Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Samosir dan Kota Tanjung Balai. Jumlah total jemaat 90 jiwa. Mereka ini adalah kelompok minoritas yang sudah lebih dari 30 tahun bersikap diam atas diskriminasi dan marjinalisasi yang dilakukan negara.

Pak Simanjuntak, Ulupunguan (pimpinan) Parmalim Cabang Kota Medan bilang, harusnya mereka diperhatikan pemerintah, bukan malah meminggirkan layaknya orang lain di negeri sendiri. Banyak ketidakadilan yang mereka alami, seperti keharusan memilih salah satu agama yang sudah ditentukan.

"Agama kami tidak diakui negara sebagai agama resmi, kami masuk golongan penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Anak-anak muda kami tidak bisa menerima ini, mereka merasa diperlakukan tidak adil. Karena agamanya, mereka menjadi sulit mencari kerja, saya tidak tau apa hubungannya pekerjaan dengan agama," kata Simanjuntak.

Setelah didampingi ASB para Naposo Bulung mulai berani unjuk gigi dan tidak malu menjalankan ibadahnya. Laki-laki sepuh itu berharap hak mereka sebagai warga negara Indonesia bisa didapat karena kewajiban sebagai warga negara mereka laksanakan.

Kepada kepala desa, camat, instansi terkait, dia meminta agar memudahkan urusan administrasi kependudukan mereka supaya bisa memenuhi kebutuhan dan keperluan hidupnya.

"Menurut kami, kita berada di negara Pancasila yang tidak membeda-bedakan suku, agama, adat dan budaya. Janganlah buat kami merasa lain, merasa berbeda, cukuplah 30 tahun ini kami diam. Diam kami bukan karena takut tapi karena keyakinan kami yang mengajarkan itu. Berikanlah hak-hak kami karena kewajiban kami laksanakan," ucap Simanjuntak dengan raut-raut wajah di makan usia yang kentara.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com