Dia mengatakan, pihak desa masih memperbolehkan adanya nelayan. Hanya saja, para nelayan itu harus menaati peraturan dan zonasi yang telah disepakati desa. Ada zonasi terumbu karang, zonasi wisata, dan zonasi untuk nelayan.
Pecalang segara juga melatih para pemilik penyewaan alat selam untuk turis. Aturannya, lima wisatawan harus didampingi satu petugas, baik dari pihak penyewa maupun pecalang.
Ini untuk menghindari rusaknya terumbu karang karena ketidaktahuan turis seperti tak boleh memegang hingga membuang sampah. Wisatawan perlu diedukasi.
”Pecalang berpatroli terutama jika ramai turis menyelam karena pernah terjadi terumbu karang rusak terkena tabung oksigen,” ujar Gunaksa.
Ardun (70), warga Pemuteran, menceritakan betapa Pantai Pemuteran dahulu tak seindah saat ini.
Ia pun mengakui, dirinya dan warga lainnya lebih dari 26 tahun lalu hanya menjadi nelayan yang tak memikirkan apa itu lingkungan. Ia tak peduli terumbu karang rusak dan ikan-ikan mati tanpa meregenerasi.
Tanah yang tandus dan gersang menjadi alasan Ardun dan warga lainnya memilih menjadi nelayan untuk hidup. Jika mereka menanam jagung atau tanaman lainnya, itu mengandalkan air dari hujan.