Tempat menyimpan sirih dan tempat menumbuk sirih pun aneka ragam nan indah dengan berbagai ukiran. Uis, berbagai peralatan pertanian, dan pustaha—buku dari batang pohon bertuliskan huruf dan tulisan Karo—tak ketinggalan dipamerkan.
Kriswanto mengatakan, buku-buku tua itu berumur sekitar 400 tahun dan dikembalikan ke Karo dari Belgia. Di pintu masuk museum juga terpajang sebuah miniatur rumah adat Karo yang kini di Karo tinggal beberapa saja.
Leo mengatakan, museum berdiri atas bantuan puluhan orang, terutama atas dorongan mantan Bupati Karo Daniel Daulat Sinulingga.
Sinulingga, lanjut Leo, mengatakan kalau pemerintah yang membuat museum tidak jadi-jadi. Pemerintah Kabupaten Karo juga tidak memiliki museum, maka bekas gereja itu dijadikan museum Karo.
Bantuan donor
Untuk merawat dan mengoperasikan museum, Leo mengandalkan banyak bantuan donor dari berbagai kalangan di Tanah Air. Ia juga dibantu saudara-saudaranya dari Belanda karena tidak ada penghasilan dari tiket masuk ke museum.
Misi museum ini semata-mata untuk mengenalkan budaya Karo kepada khalayak. ”Kami berharap bisa meluaskan museum supaya makin banyak benda-benda bersejarah yang bisa ditampung,” kata Leo.
Meskipun buka setiap hari sejak pukul 09.00 hingga 16.30, sayangnya museum itu justru tutup pada hari Minggu dan hari besar. Padahal, di situlah hari-hari itu banyak wisatawan yang hadir di Berastagi.
”Saya berharap pada hari Minggu museum buka supaya banyak wisatawan yang bisa mengunjungi museum,” kata Monic. (Aufrida Wismi Warastri)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Februari 2017, di halaman 22 dengan judul "Museum Milik Bersama di Sudut Berastagi".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.