Waluyo mengatakan, secara umum, tidak ada yang berbeda dari yang ditawarkan oleh warung-warung lain.
Dia hanya berusaha menjaga agar cita rasa tetap bertahan sama dengan memakai peralatan, teknik memasak, bumbu, bahan—termasuk bahan pelengkap—yang sama dengan yang dipakai oleh mendiang ayahnya.
Selain memakai saringan bambu, dia pun hingga kini tetap memakai kecap produksi industri rumah tangga, yang diproduksi oleh kerabatnya sendiri. Selain itu, dia pun juga konsisten memakai mi produksi rumah tangga merek tertentu dari Purwokerto.
”Kalau memakai produk-produk merek lain, saya khawatir rasanya akan berubah,” ujarnya.
Diserbu pembeli
Waluyo mengatakan, kemahiran ayahnya, Samsudin, meracik mi ongklok didapatkan dengan belajar secara khusus pada seorang pedagang mi ongklok keliling.
”Ilmu” dan ”pembelajaran khusus” yang dilakukan mulai tahun 1960-an inilah, yang kemudian diteruskan Waluyo dan melekat menjadi cita rasa unik mi ongklok Longkrang hingga kini.
Keunikan rasa inilah yang menggiring banyak orang datang dan menghabiskan sekitar 1.000 porsi mi ongklok per hari dan bahkan pada akhir pekan, bahkan mencapai 5.000 porsi per hari!