Sembilan danyang tersebut kemudian bersedia pindah dari pohon besar tersebut dengan satu syarat, yaitu harus ada kesenian yang ditampilkan tiap tahun. Namun kesenian tersebut tidak boleh bersuara dan harus dilakukan dengan senyap.
BACA: Kite and Windsurfing di Pulau Tabuhan Banyuwangi Diikuti 13 Negara
Mbah Joyo menyetujuinya, dan sembilan danyang tersebut dipindahkan ke gunung Bakungan di Bali, gunung Purwo, gunung Sembulungan, gunung Baluran, gunung Ijen dan gunung Raung serta di tiga sumber mata air yaitu Sukmo Ilang di Olehsari, sumber Galing dan sumber Penawar.
"Setelah dipindahkan, pohon Nogosari bisa ditebang dan wilayah tersebut menjadi pemukiman hingga saat ini," jelasnya.
Janji kepada para danyang kemudian ditepati, mereka menggelar kesenian secara senyap tanpa suara berbeda dengan kesenian lainnya yaitu Gandrung dan Barong. Ruslan menjelaskan nama Seblang berasal dari "Seb" yang berarti diam dan "Lang" yang bermakna langgeng atau abadi.
"Jadi Seblang berarti harus diam atau senyap mulai awal dimainkan sampai berakhir," tambahnya.
Pria kelahiran 1927 tersebut mengaku menjadi pawang Seblang sejak tahun 1967. Saat itu Seblang kembali digelar setelah bertahun-tahun tidak diselenggarakan karena kondisi politik Indonesia dalam keadaan kacau.
Ia kemudian menjadi pawang Seblang hingga tahun ini. Untuk menjadi pawang, tidak harus keturunan langsung dari Seblang namun karena bakat alam. Dia sendiri mengaku tidak tahu siapa yang akan menggantikannya jika dia meninggal dunia.
"Berbeda dengan penari Seblang Bakungan yang harus keturunan penari Seblang pertama. Seperti sebuah kerajaan, Raja harus diteruskan oleh pangeran keturunannya. Seperti itu juga penari Seblang tapi bukan untuk pawang," jelasnya.
Dalam setiap babak yang dimainkan di tari Seblang, menurut Ruslan adalah simbol kehidupan manusia mulai lahir, termasuk juga perlengkapan yang disiapkan. Dia mencontohkan "bantal kloso" atau bantal tikar simbol dari sebuah pernikahan, atau boneka yang digendong sebagai simbol anak yang dilahirkan atau kesuburan serta keris yang bawa saat menari sebagai simbol perlawanan.
Sementara lagu lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu klasik bahasa daerah Using seperti Seblang-seblang, Podo Nonton, Dodol Kembang, Nglamat nglimir, Ugo-ugo, Nyurung Dayung, Mancing-mancing, Nandur Kiling, Celeng Mogok, Donsro, dan Perang-perang.
BACA: Banyuwangi Punya Pantai dengan Hutan Cemara nan Rindang
Dia juga menceritakan pada jaman dahulu, Seblang digelar semalam suntuk namun saat ini Seblang sudah berakhir sebelum tengah malam. Hal tersebut menyesuaikan dengan kesibukan masyarakat karena pekerjaan.
"Walaupun tidak semalam suntuk tidak mengurangi kesakralan Seblang," tambahnya.
Selain itu babak yang paling ditunggu-tunggu oleh penonton adalah "Adol Kembang" atau menjual bunga. Penonton berebut mendapatkan "Kembang Telon" yang terdiri dari bunga Wongso, bunga Pecari dan bunga Mawar.
Masyarakat percaya jika menyimpan Kembang Telon dari Seblang akan mempermudah jodoh dan memperlancar rejeki. Tahun ini ada dua ribu Kembang Telon yang disiapkan untuk penonton.
"Saya meyakini jika masyarakat bakungan akan terus melestarikan Seblang dan yang membuat saya senang adalah banyak anak muda yang dilibatkan di tradisi ini," pungkasnya sambil tersenyum.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.