"Dari pengalaman saya, pertama berjualan memang yang harus dikejar itu laris bukan laba. Kalau mengejar laba dari awal, maka kualitas dikurangi. Itu satu tahun merintis usaha tetapi tidak laba, tapi masih bisa jalan karena masih bisa diputar (modal)," jelas Yoyok.
Baca juga: Sambal Apa yang Paling Digemari Masyarakat Indonesia?
Ia mulai belajar menjalankan bisnis dengan otodidak. Melalui pengamatan, Yoyok menyadari jika ada detail dalam usaha kuliner yang dapat dikurangi.
Contohnya api kompor merah membuat gas jadi lebih boros. Ia juga berusaha untuk mengambil pasokan makanan dari tangan pertama. Semua dilakukan untuk mengurangi biaya belanja dapur.
Bangun cabang, bukan waralaba
Lambat laun usaha Yoyok mulai membuahkan hasil. Laba didapat, cabang dibangun.
Sampai tahun ini, Waroeng SS punya 83 cabang di 43 kota dengan total karyawan 3.600 orang. Uniknya semua rumah makan tersebut adalah cabang, tidak ada yang waralaba.
"Waralaba itu menguntungkan secara jangka pendek, tetapi jangka panjang sangat berisiko. Semua di luar kendali kita dari kualitas produk dan pelayanan," kata Yoyok.
Baca juga: Sejak Kapan Masyarakat Indonesia Mengonsumsi Sambal?
Yoyok mengatakan tidak akan membuka waralaba, jika pada akhirnya merusak citra warung makan yang telah dibangun dengan jerih payah.
Untuk menjalankan bisnis rumah makan dengan jumlah banyak itu, Yoyok membagi bisnisnya dalam dua lini besar, yakni support dan operasional. Support mengurus bagian manajerial dan operasional mengurus bagian produksi makanan.
"Terbagi dari satu kantor pusat dan tujuh kantor area. Jadi karyawan SS itu 500 orangnya ngantor," kata Yoyok.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.