Saat itu saya memutuskan minum kopi Pastor. Seketika itu Pastor minta karyawannya untuk menyuguhkan kopi.
"Silakan ngobrol dengan tamu saya ini. Saya sedang mengurus persiapan peresmian Museum Tenun Sumba untuk diresmikan 29 Agustus 2018," katanya.
Sambil minum kopi saya berbincang-bincang dengan tamu asal Kenya itu. Selanjutnya tamu itu hendak ke Bandara Tambolaka untuk balik ke Jakarta.
Selanjutnya saya berbincang-bincang dengan pengelola Rumah Budaya Sumba itu. Pertama, Pastor Robert bertanya kapan kita bertemu pertama kali. Saat itu saya menjawab saya belum bertemu Pastor sebelumnya.
"Hari ini saya pertama kali bertemu Pastor. Saya mengenal Pastor dari buku yang dipublikasikan tentang Budaya Sumba melalui foto-foto yang dikumpulkan dalam sebuah buku tersebut," jawab saya.
"Saya cetak dalam bentuk post card dan mengirim ke relasi dan teman-teman di luar negeri dan Indonesia," katanya.
Romane menjelaskan, tahun 2004, dirinya menggagas mendirikan Rumah Budaya Sumba dan mengusulkan gagasan itu kepada pembesar Ordo Redemptoris dan mendapatkan persetujuan untuk memulai mendidikan Rumah Budaya Sumba tersebut.
Gagasan itu disetujui untuk mengelola di lahan seluas 50 hektar. Tetapi gagasan itu harus memiliki modal untuk memulai merancang bangunannya. Lalu uang tidak ada.
Romane menjelaskan, gagasan itu ternyata ada jalan keluarnya di mana Yayasan Tirta Utomo membantu sebagai donatur dengan nilai Rp 2,5 miliar untuk memulai membangun gedung Rumah Budaya Sumba hingga berdiri hari ini. Perlahan tapi pasti. Perjuangan itu tahap demi tahap dengan kemampuan apa adanya.
Mengelola Rumah Budaya Sumba tidaklah gampang. Pasalnya perawatan gedung, serta gaji karyawan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Lalu, pengelola membangun vila bagi wisatawan yang berkunjung dan belajar serta meneliti Budaya Sumba.
“Penantian selama tujuh tahun terwujud dengan bangunan Rumah Budaya Sumba dengan berbagai koleksi budaya setempat. Saya sangat mencintai Pulau Sumba. Pulau Sumba sangat indah untuk dijelajahi. Keunikan rumah adat, tradisi Pasola, tarik batu kubur raksasa dari hutan, Kampung Ratenggarong, kampung berada di bibir pantai Samudera Hindia, nilai-nilai budaya Sumba dilestarikan,” katanya.
Romane menjelaskan, sejumlah mahasiswa asal Jerman belajar budaya Sumba di museum Rumah Sumba dan banyak peneliti Indonesia dan asing yang belajar tentang budaya Sumba menginap di Vila Rumah Budaya Sumba.
Wisatawan asal Kenya, Len Ogembo kepada KompasTravel menjelaskan, budaya Pulau Sumba sangat unik, sistem agrikulturnya, serta pulaunya yang indah.
“Saya sudah beberapa kali ke Pulau Sumba untuk berwisata. Saya sedang menggali informasi tentang hasil bumi di Pulau Sumba,” katanya.
Mau jalan-jalan gratis ke Jerman bareng 1 (satu) teman kamu? Ikuti kuis kerja sama Kompas.com dengan Scoot lewat kuis JELAJAH BERLIN. Ada 2 (dua) tiket pesawat PP ke Jerman, voucher penginapan, Berlin WelcomeCards, dan masih banyak lagi. Ikuti kuisnya di sini. Selamat mencoba!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.