Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dua Jam Mengelilingi Rumah Budaya Sumba

Kompas.com - 28/08/2018, 11:54 WIB
Markus Makur,
I Made Asdhiana

Tim Redaksi

TAMBOLAKA, KOMPAS.com — Kerinduan untuk berjumpa dengan Pastor Robert Romane, C.Ss.R di Kompleks ordo Redemptoris di Tambolaka, ibukota Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT akhirnya terwujud.

KompasTravel sudah lama memiliki niat untuk melihat sosok dan berdiskusi dengan budayawan Sumba itu karena karya gemilangnya membangun Rumah Budaya Sumba sebagai pusat budaya, studi dan penelitian tentang budaya Sumba.

Awal ketertarikan KompasTravel mengunjungi museum dan Rumah Budaya Sumba itu dari promosi buku yang dipublikasikan media massa dengan judul “Sumba Forgotten Island, Pulau yang Dilupakan”.

Baca juga: Pulang dari Sumba, Ini 5 Pilihan Oleh-olehnya

Buku itu menceritakan budaya, rumah adat, ritual adat serta keunikan-keunikan alam Pulau Sumba, cerita-cerita mistis dan magis melalui karya fotografi yang apik dan profesional.

Publikasi media massa tentang imam yang tertarik di dunia fotografi membuat KompasTravel terus menerus ingin berkunjung dan mengenal lebih dekat sosok di balik buku tersebut. Menjelajahi Pulau Sumba dua tahun lalu belum terwujud untuk mengunjungi rumah budaya yang sudah semakin terkenal di seluruh dunia.

Gerbang masuk ke Rumah Budaya Sumba, Kabupaten Sumba Barat Daya, Pulau Sumba, NTT, Kamis (9/8/2018).KOMPAS.com/MARKUS MAKUR Gerbang masuk ke Rumah Budaya Sumba, Kabupaten Sumba Barat Daya, Pulau Sumba, NTT, Kamis (9/8/2018).
Waktu itu rute penerbangan saya, Waelengga-Labuan Bajo-Bali dan Tambolaka. Saat itu saya diundang Kepala Balai Taman Nasional MataLawa Sumba, Maman Surahman untuk mengabadikan dan mempromosikan keunikan alam, kampung tradisional Sumba, padang savana sumba serta bunga edelweis di Pegunungan Wanggameti.

Baca juga: Keunikan Julang Sumba di TN MataLawa Memukau Wisatawan

Waktu itu rencana mengunjungi Museum Budaya Sumba belum terwujud karena agenda-agenda yang sudah dijadwalkan sangat padat. Saat itu KompasTravel menjelajahi Pulau Sumba dari Barat ke Timur. Dari Tambolaka menuju ke Waikabubak.

Dari Tambolaka ke Waikabubak ditempuh kendaraan roda empat selama kurang lebih tiga jam. Selanjutnya menginap di salah satu hotel di Kota Waikabubak, ibukota Kabupaten Sumba Barat.

Keesokan harinya KompasTravel mengunjungi kampung tradisional Praijing untuk melihat rumah adat Sumba, tenun sumba serta kebiasaan orang Sumba di Kampung Praijing saat menyambut tamu.

Baca juga: Menerobos Rimba Manurara Pulau Sumba Mencari Air Terjun Matayangu

Beruntung saat itu ada sejumlah rombongan dari berbagai kota di Indonesia yang mengunjungi perkampungan tradisional tersebut.

Museum Tenun Sumba yang siap diresmikan 29 Agustus 2018, Kamis (9/8/2018).  KOMPAS.com/MARKUS MAKUR Museum Tenun Sumba yang siap diresmikan 29 Agustus 2018, Kamis (9/8/2018).
Saat itu kaum perempuan di Kampung Praijing menampilkan tarian khas Sumba untuk menyambut tamu. Selanjutnya hari itu menuju ke Air Terjun Lapopu dan menempuh perjalanan darat menuju ke Waingapu, ibukota Kabupaten Sumba Timur.

Baca juga: Kapan Waktu Terbaik Mengunjungi Sumba?

Kesempatan kedua pada Agustus 2018 KompasTravel diundang lagi oleh Balai Taman Nasional MataLawa Sumba untuk meliput kompetisi lomba foto burung dan birdrace di lokasi pengamatan burung di Manurara, Desa Manurara, Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah.

Kali ini rute penerbangan yang diambil Waelengga-Soa-Kupang-Waengapu. Saya tiba di Bandara Umbu Mehang Kunda Waengapu, Sabtu (4/8/2018).

Hari itu menempuh kendaraan roda empat yang disiapkan panitia menuju ke Waikabubak, ibukota Sumba Barat dengan menempuh perjalanan selama empat jam lebih.

Baca juga: Kapan Waktu Terbaik Mengunjungi Sumba?

Kesempatan kedua ini KompasTravel sisihkan waktu di sela-sela liputan lomba foto burung dan birdrace. Pertama fokus untuk meliputi lomba bersama keunikan alam yang sudah dijadwalkan oleh panitia dari Balai Taman Nasional MataLawa Sumba.

Gendang sakral di dalam Rumah Budaya Sumba, Kamis (9/8/2018).  KOMPAS.com/MARKUS MAKUR Gendang sakral di dalam Rumah Budaya Sumba, Kamis (9/8/2018).
Dari Sabtu (4/8/2018) sampai Rabu (8/8/2018), KompasTravel konsentrasi untuk meliput berbagai kegiatan lomba foto burung dan birdrace yang diikuti 61 peserta dari berbagai Kota, dan Perguruan Tinggi di Indonesia.

Minggu (5/8/2018), saya sempat mengelilingi Waebakul-Tambokala untuk berjumpa dengan peserta lomba yangmendarat di Bandara Tambolaka. Hari itu juga saya mencari informasi tentang Rumah Budaya Sumba.

Saat menunggu di Bandara Tambolaka, saya mencari nomor kontak Pastor Robert, C.Ss.R di handphone. Beruntung nomor kontak masih tersimpan dan saat itu saya mengabarkan melalui pesan whatsapp tentang rencana ke Rumah Budaya Sumba.

Namun rencana hari tidak terwujud karena padatnya kegiatan sepanjang hari hingga kembali ke penginapan Puspas Keuskupan Sumba di Waibakul, Sumba Tengah bersama seluruh peserta lomba, tim juri dan panitia setempat.

Rumah Budaya Sumba mengoleksi berbagai jenis patung khas Sumba yang di pahat orang Sumba sendiri, Kamis (9/8/2018).KOMPAS.com/MARKUS MAKUR Rumah Budaya Sumba mengoleksi berbagai jenis patung khas Sumba yang di pahat orang Sumba sendiri, Kamis (9/8/2018).
Minggu malam (5/8/2018) peserta lomba dan jurnalis KompasTravel memperoleh arahan dari Panitia tentang lokasi lomba serta gambaran-gambaran tentang keunikan burung endemik Sumba dan alam serta budaya setempat.

Selanjutnya Senin (6/8/2018)-Rabu (8/8/2018) berada di spot pengamatan burung Manurara di dalam kawasan Taman Nasional MataLawa Sumba. Saat itu fokus untuk mengumpulkan bahan liputan serta mengunjungi obyek wisata di dalam kawasan tersebut.

Bertemu Fotografer Sumba

Kamis (9/8/2018), penerbangan Kompas Travel untuk kembali ke Flores, Nusa Tenggara Timur dengan pesawat Nam Air pukul 16.00 Wita menuju ke Bandara Eltari Internasional Kupang.

Malamnya saya putuskan untuk berangkat pagi dari Penginapan Puspas Keuskupan Sumba di Waibakul bersama dengan rombongan peserta lomba yang bali ke Kota masing-masing melalui Bandara Tambolaka.

Pastor Robert Romane, C.Ss.R sedang menjelaskan kepada pengunjung tentang motif tenun Sumba di Rumah Budaya Sumba, Kamis (9/8/2018).  KOMPAS.com/MARKUS MAKUR Pastor Robert Romane, C.Ss.R sedang menjelaskan kepada pengunjung tentang motif tenun Sumba di Rumah Budaya Sumba, Kamis (9/8/2018).
Semua rombongan peserta dihantar dengan bis dan mobil operasional dari TN MataLawa Sumba dari tempat penginapan menuju ke Bandara Tambolak sekitar jam 06.30 wita.

Sebagian peserta dan tim juri terbang pagi sesuai dengan tiket masing-masing dan ada juga penerbangan siang. Dalam tiket saya terbang sore.

Minum Kopi Sumba

Setiba di Bandara Tambolaka, saya dan sejumlah peserta memesan kopi rasa Sumba yang dijual di kedai bandara oleh pedagang lokal setempat.

Rasa kopi sumba sangat berbeda dengan rasa kopi khas Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur maupun Flores pada umumnya.

Rumah Budaya Sumba mengoleksi berbagai jenis patung khas Sumba yang dipahat orang Sumba sendiri, Kamis (9/8/2018).  KOMPAS.com/MARKUS MAKUR Rumah Budaya Sumba mengoleksi berbagai jenis patung khas Sumba yang dipahat orang Sumba sendiri, Kamis (9/8/2018).
Sambil minum kopi yang sudah dipesan, saya menggali informasi tentang alamat Rumah Budaya Sumba yang didirikan imam setempat, Pastor Robert Romane, C.Ss.R.

Semua orang di bandara mengetahui Rumah Budaya Sumba tersebut dan selanjutnya mencari informasi tentang sewa travel dalam sehari dari Bandara Tambolaka menuju ke Rumah Budaya Sumba.

Tak lama kemudian, muncul sopir travel bandara menginformasi harga per hari dalam menyewa travel. Negosiasi harga terjadi, namun karena harganya cukup mahal akhirnya saya memutuskan untuk tidak menyewa mobil travel dan berada di Bandara Tambolaka sambil menunggu penerbangan sore hari ke Bandara Eltari di Kupang.

Ketika sedang menikmati kopi rasa sumba, saya melihat bus travel milik Rumah Budaya Sumba yang mengantar tamu ke Bandara Tambolaka. Seketika itu saya mengontak Pastor Robert bahwa saya ingin ke Rumah Budaya Sumba. 

Dua mahasiswi sedang mengunjungi Rumah Budaya Sumba untuk mengisi waktu liburan di Pulau Sumba, Sumba Barat Daya, NTT, Kamis (9/8/2018).KOMPAS.com/MARKUS MAKUR Dua mahasiswi sedang mengunjungi Rumah Budaya Sumba untuk mengisi waktu liburan di Pulau Sumba, Sumba Barat Daya, NTT, Kamis (9/8/2018).
Harapan saya terwujud di mana Pastor Robert mengontak sopir bus untuk menjemput saya di pelataran Bandara Tambolaka. Saat itu juga saya naik kendaraan milik Rumah Budaya Sumba menuju ke museum tersebut.

Tiba di Restoran Rumah Budaya Sumba

Saya turun dari bus itu menuju ke sebuah gedung megah bermotif Rumah Adat Sumba. Gedung itu adalah restoran Rumah Budaya Sumba.

Sebelumnya saya melihat sosok Pastor Robert di media massa, lalu hari itu terwujud untuk bertemu langsung dengan sosok tersebut. Saat itu Pastor Robert duduk didampingi seorang wisatawan asal Kenya, Len Ogembo yang menginap di Rumah Budaya Sumba tersebut.

Selanjutnya Pastor Robert menyapa selamat datang di Rumah Budaya Sumba serta menyapa wisatawan asal Kenya tersebut. Selanjutnya Pastor Robert menawarkan jasa baiknya dengan bertanya, mau minum apa?

Rumah Budaya Sumba di Pulau Sumba , NTT, mengoleksi berbagai jenis peralatan untuk menyimpan air minum di masyarakat Sumba, Kamis (9/8/2018). KOMPAS.com/MARKUS MAKUR Rumah Budaya Sumba di Pulau Sumba , NTT, mengoleksi berbagai jenis peralatan untuk menyimpan air minum di masyarakat Sumba, Kamis (9/8/2018).
Saat itu saya memutuskan minum kopi Pastor. Seketika itu Pastor minta karyawannya untuk menyuguhkan kopi.

"Silakan ngobrol dengan tamu saya ini. Saya sedang mengurus persiapan peresmian Museum Tenun Sumba untuk diresmikan 29 Agustus 2018," katanya.

Sambil minum kopi saya berbincang-bincang dengan tamu asal Kenya itu. Selanjutnya tamu itu hendak ke Bandara Tambolaka untuk balik ke Jakarta.

Selanjutnya saya berbincang-bincang dengan pengelola Rumah Budaya Sumba itu. Pertama, Pastor Robert bertanya kapan kita bertemu pertama kali. Saat itu saya menjawab saya belum bertemu Pastor sebelumnya.

"Hari ini saya pertama kali bertemu Pastor. Saya mengenal Pastor dari buku yang dipublikasikan tentang Budaya Sumba melalui foto-foto yang dikumpulkan dalam sebuah buku tersebut," jawab saya.

Mahasiswi Undana Kupang sedang mengunjungi Rumah Budaya Sumba di Weetabula, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, Kamis (9/8/2018).  KOMPAS.com/MARKUS MAKUR Mahasiswi Undana Kupang sedang mengunjungi Rumah Budaya Sumba di Weetabula, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, Kamis (9/8/2018).
Pastor Robert Romane, C.Ss.R kepada KompasTravel, Kamis (9/8/2018) menjelaskan, selama 25 tahun bergelut di dunia fotografi. Berawal dari senang memotret alam, budaya dan rumah adat di Pulau Sumba.

"Saya cetak dalam bentuk post card dan mengirim ke relasi dan teman-teman di luar negeri dan Indonesia," katanya.

Romane menjelaskan, tahun 2004, dirinya menggagas mendirikan Rumah Budaya Sumba dan mengusulkan gagasan itu kepada pembesar Ordo Redemptoris dan mendapatkan persetujuan untuk memulai mendidikan Rumah Budaya Sumba tersebut.

Gagasan itu disetujui untuk mengelola di lahan seluas 50 hektar. Tetapi gagasan itu harus memiliki modal untuk memulai merancang bangunannya. Lalu uang tidak ada.

Romane menjelaskan, gagasan itu ternyata ada jalan keluarnya di mana Yayasan Tirta Utomo membantu sebagai donatur dengan nilai Rp 2,5 miliar untuk memulai membangun gedung Rumah Budaya Sumba hingga berdiri hari ini. Perlahan tapi pasti. Perjuangan itu tahap demi tahap dengan kemampuan apa adanya.

Rumah Budaya Sumba memiliki lambang Cinta dengan huruf C di tengah-tengah rumah budaya tersebut, Weetabula, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, Kamis (9/8/2018).  KOMPAS.com/MARKUS MAKUR Rumah Budaya Sumba memiliki lambang Cinta dengan huruf C di tengah-tengah rumah budaya tersebut, Weetabula, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, Kamis (9/8/2018).
Lalu, Maret 2010, mulai membangun Rumah Budaya Sumba dengan bantuan donatur Yayasan Tirta Utomo. Dan peresmiannya Rumah Budaya Sumba, 22 Oktober 2011.

Mengelola Rumah Budaya Sumba tidaklah gampang. Pasalnya perawatan gedung, serta gaji karyawan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Lalu, pengelola membangun vila bagi wisatawan yang berkunjung dan belajar serta meneliti Budaya Sumba.

“Penantian selama tujuh tahun terwujud dengan bangunan Rumah Budaya Sumba dengan berbagai koleksi budaya setempat. Saya sangat mencintai Pulau Sumba. Pulau Sumba sangat indah untuk dijelajahi. Keunikan rumah adat, tradisi Pasola, tarik batu kubur raksasa dari hutan, Kampung Ratenggarong, kampung berada di bibir pantai Samudera Hindia, nilai-nilai budaya Sumba dilestarikan,” katanya.

Romane menjelaskan, sejumlah mahasiswa asal Jerman belajar budaya Sumba di museum Rumah Sumba dan banyak peneliti Indonesia dan asing yang belajar tentang budaya Sumba menginap di Vila Rumah Budaya Sumba.

Pengelola Rumah Budaya Sumba, Pastor Robert Romane, C.Ss.R sedang berjalan di gedung itu, Kamis (9/8/2018).  KOMPAS.com/MARKUS MAKUR Pengelola Rumah Budaya Sumba, Pastor Robert Romane, C.Ss.R sedang berjalan di gedung itu, Kamis (9/8/2018).
“Rumah Budaya Sumba mengoleksi kain-kain tua di Pulau Sumba. Pulau Sumba sangat kaya akan budaya, alam serta obyek wisata yang tersebar dari Kabupaten Sumba Barat Daya sampai di Kabupaten Sumba Timur,” jelasnya.

Wisatawan asal Kenya, Len Ogembo kepada KompasTravel menjelaskan, budaya Pulau Sumba sangat unik, sistem agrikulturnya, serta pulaunya yang indah.

“Saya sudah beberapa kali ke Pulau Sumba untuk berwisata. Saya sedang menggali informasi tentang hasil bumi di Pulau Sumba,” katanya.

Mau jalan-jalan gratis ke Jerman bareng 1 (satu) teman kamu? Ikuti kuis kerja sama Kompas.com dengan Scoot lewat kuis JELAJAH BERLIN. Ada 2 (dua) tiket pesawat PP ke Jerman, voucher penginapan, Berlin WelcomeCards, dan masih banyak lagi. Ikuti kuisnya di sini. Selamat mencoba!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

6 Taman untuk Piknik di Jakarta, Liburan Hemat Bujet

6 Taman untuk Piknik di Jakarta, Liburan Hemat Bujet

Jalan Jalan
7 Taman Gratis di Yogyakarta, Datang Sore Hari Saat Tidak Terik

7 Taman Gratis di Yogyakarta, Datang Sore Hari Saat Tidak Terik

Jalan Jalan
Istana Kepresidenan Yogyakarta Dibuka untuk Umum, Simak Caranya

Istana Kepresidenan Yogyakarta Dibuka untuk Umum, Simak Caranya

Travel Update
Jadwal Kereta Cepat Whoosh Mei 2024

Jadwal Kereta Cepat Whoosh Mei 2024

Travel Update
Cara Berkunjung ke Museum Batik Indonesia, Masuknya Gratis

Cara Berkunjung ke Museum Batik Indonesia, Masuknya Gratis

Travel Tips
Amsterdam Ambil Langkah Tegas untuk Atasi Dampak Negatif Overtourism

Amsterdam Ambil Langkah Tegas untuk Atasi Dampak Negatif Overtourism

Travel Update
Perayaan Hari Tri Suci Waisak 2024 di Borobudur, Ada Bhikku Thudong hingga Pelepasan Lampion

Perayaan Hari Tri Suci Waisak 2024 di Borobudur, Ada Bhikku Thudong hingga Pelepasan Lampion

Travel Update
Destinasi Wisata Rawan Copet di Eropa, Ternyata Ada Italia

Destinasi Wisata Rawan Copet di Eropa, Ternyata Ada Italia

Jalan Jalan
Kenaikan Okupansi Hotel di Kota Batu Tidak Signifikan Saat Libur Panjang Kenaikan Yesus Kristus

Kenaikan Okupansi Hotel di Kota Batu Tidak Signifikan Saat Libur Panjang Kenaikan Yesus Kristus

Travel Update
KA Bandara YIA Tambah 8 Perjalanan Saat Long Weekend Kenaikan Yesus Kristus, Simak Jadwalnya

KA Bandara YIA Tambah 8 Perjalanan Saat Long Weekend Kenaikan Yesus Kristus, Simak Jadwalnya

Travel Update
Kekeringan Parah Ancam Sejumlah Destinasi Wisata Populer di Thailand

Kekeringan Parah Ancam Sejumlah Destinasi Wisata Populer di Thailand

Travel Update
Libur Panjang Kenaikan Yesus Kristus, Kunjungan Wisatawan ke Kota Batu Naik

Libur Panjang Kenaikan Yesus Kristus, Kunjungan Wisatawan ke Kota Batu Naik

Travel Update
Bangka Bonsai Festival Digelar Sepekan di Museum Timah Indonesia

Bangka Bonsai Festival Digelar Sepekan di Museum Timah Indonesia

Travel Update
Cara ke Tebing Keraton Bandung Pakai Angkot, Turun di Tahura

Cara ke Tebing Keraton Bandung Pakai Angkot, Turun di Tahura

Jalan Jalan
Kemenparekraf Dorong Parekraf di Bogor Lewat FIFTY, Ada Bantuan Modal

Kemenparekraf Dorong Parekraf di Bogor Lewat FIFTY, Ada Bantuan Modal

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com