"Saya kan belum ada kantor. Akhirnya saya berpikir, bagaimana caranya. Karena jiwa saya di pariwisata, saya melihat anak-anak butuh ditampung. Jadi, ide buka kedai kopi ini, sudah bisa jadi tempat kumpulnya anak-anak. Di sini saya bisa bagikan pengetahuan dengan mereka," ujar Elis.
Ia menerangkan, konsep yang diuat adalah kedai kopi kampung. Dan sangat kampungan. Mulai dari wadah dan ornamen-ornamen yang ada menggambarkan kehidupan orang Flores zaman dulu.
Saat ini juga, minum kopi sudah sudah menjadi kebutuhan. Tetapi, orang sulit menemukan warung kopi khas Flores. Di banyak restoran hanya menyediakan kopi pabrik yang didatangkan dari luar.
"Flores ini kan hutan kopi. Tetapi, kenapa kita harus minum kopi pabrik. Jadi kopi ini saya buka sebagai sarana berkumpul orang-orang di sini dengan harga yang ramah di kantong. Kita bisa diskusi. Sehingga ada nilai edukasi dari kopi kampung ini," ungkap Elis.
Menurut Elis, saat ini orang mulai lupa dengan kopi. Anak muda di Flores harus diberi pemahaman tentang kopi. Mulai dari rawat pohonnya, kasih pupuk, panen, jemur, goreng pakai kuali tanah, tumbuk.
"Proses ini harus diterangkan agar mereka tidak hanya tahu beli kopi sachet di kios-kios. Proses kopi ini setengah mati tetapi harganya terus jatuh," tutur Elis.
Selain itu, ia membuka kedai kopi kampung itu agar membantu para petani kopi di Kabupaten Sikka.
Ia membeli kopi para petani yang dijual di pasar-pasar dalam kota Maumere.
"Saat ini saya merasa bangga, sebelumnya kopi di pasar dibeli dengan harga Rp 29.000. Saat ini saya belinya dengan Rp 36.000. Artinya, sasaran kita sudah capai. Yang makmur harusnya petani kopi. Ini bisa jadi motivasi bagi para petani kita. Kalau harga kopi bagus, pasti mereka akan rawat terus," paparnya.
"Saya punya alasan tersendiri. Petani sudah jauh-jaih sewa transportasi dari kampung untuk menjual kopi. Kita harus beli di mereka. Minimal mereka bisa terbantu untuk bayar bemo pulang," ungkapnya.
Ia juga selalu menjelaskan kepada setiap kali ada tamu yang berkunjung tentang kopi kampung, termasuk tamu luar negeri.
"Mereka suka dengan nama itu. Mengapa disebut kampung, ya, karena ini wadahnya orang kampung, seduhnya seperti orang kampung, proses kopinya secara tradisional, dan suasana kedai juga seperti di kampung. Ini suasana kampung di tengah kota. Orang di kampung kan kalau minum kopi duduk melingkar sambil diskusi," jelasnya.
Sejak bukanya kedai kopi kampung itu pengunjung selalu ada, meskipun ada hari yang jumlah tamunya hanya 1 dan 2 orang.
Terkait pemasukan sementara, ia enggan mengomentari lebih jauh. Paling penting adalah konsep dan sasaran tercapai. Semua kalangan bisa menikmati kopi di kedai kopi kampung.