Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ritual Meminta Hujan Komunitas Tokan Lokan Pito, Dilakukan di Lereng Gunung Api

Kompas.com - 28/03/2022, 07:39 WIB
Serafinus Sandi Hayon Jehadu,
Nabilla Tashandra

Tim Redaksi

Pantangan Empat Hari

Sebelum ritual adat berakhir, tiga suku tuan tanah bersama warga Kampung Tokanjaeng dan Baolangu menyatakan kesepakatan adat. Kesepakatan tersebut mengharuskan semua warga mematuhi pantangan dan larangan selama empat hari, usai ritual dilakukan.

"Tidak boleh ada aktivitas warga, entah kerja kebun, melaut, titi jagung, bunyi musik, mesin kendaraan, dan pesta. Kalau sudah malam semua lampu padam, tidak boleh duduk di jalan raya dan berkerumun," ucapnya.

Baca juga:

Menurutnya, jika ada yang melanggar akan mendapat sanksi adat.

"Masing-masing tanggung babi besar, kambing besar satu ekor, satu tandan pisang, ayam jantan besar satu ekor, dan tuak satu tempayan untuk konsumsi warga kampung," ujar Sekretaris Lembaga Adat Desa Lamatokan ini.

Dukung Keputusan Adat

Kepala Desa Lamatokan, Yohanes Esmedano Emi mengatakan, warga dua desa, yakni Lamatokan dan Baolaliduli, meyakini bahwa untuk mendapatkan hasil yang baik harus melalui tantangan.

Namun, belakangan Yohanes menilai, kekhasan ritual ini kian luntur.

"Selain Kades saya juga sebagai tuan tanah sangat menginginkan ritual adatnya berlangsung sesuai dengan yang diajarkan para leluhur."

“Tetapi yang jelas bahwa segala bencana yang kami dialami selama ini karena adat dan budaya kami khusus di komunitas Tokan Lota Pito semakin luntur," ujarnya.

Baca juga:

Ia berharap, semua tokoh adat dan warga desa mendukung kesepakatan adat. Sebab, ritual tersebut diyakini bisa memberikan dampak positif bagi keberlanjutan hidup antara manusia dengan arwah leluhur, alam, dan Tuhan.

"Ini merupakan bagian dari warisan budaya, semua harus dikembalikan ke tempat semula di rumah adat Kampung Lama," pungkasnya.

Simbol Jati Diri

Foto: Tua adat dan warga setempat sedang melangsungkan prosesi adat.Dokumen Desa Lamatokan Foto: Tua adat dan warga setempat sedang melangsungkan prosesi adat.

Pemerhati budaya Kabupaten Lembata, Linus Beseng berharap, ritual lete mayan ure kowa dan sedu sike nawo nu maye apu angi tetap dipertahankan.

Ritual tersebut, jelas Linus, merupakan salah satu simbol jati diri masyarakat Lembata.

Ia mengapresiasi komunitas Tokan Lota Pito yang masih berusaha mempertahankan eksistensi budaya setempat.

"Saya harap tokoh-tokoh adat bisa memotivasi generasi penerus," ujar Linus saat dihubungi, Minggu.

Baca juga:

Meski demikian, Linus menyayangkan banyak warga masyarakat yang didaulat menjadi tokoh adat justru tidak memerhatikan kearifan budaya setempat. Bahkan, ritual warisan nenek moyang mulai lupa untuk dilakukan.

"Sebelum tanam kita di Lembata ada upacara adat. Kalau kita panen juga harus ada upacara adat. Anak yang baru lahir harus ada upacara adat. Tetapi ritual-ritual ini jarang dilakukan," ujarnya.

Linus mendorong agar pemerintah Kabupaten Lembata terus berperan aktif melakukan berbagai upaya pelestarian budaya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com