Dr Maruarar sangat kecewa akan hal itu karena dia ingin menjelaskan bahwa UUD 1945 sangat jelas mengatakan perlindungan akan hak-hak masyarakat hukum adat.
Konflik di Sigapiton dan Motung merupakan dampak dari cara-cara BODT yang mengabaikan posisi dan kedudukan masyarakat lokal. Jika pengembangan wisata benar berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), konflik sosial tidak akan pernah terjadi. Semua masyarakat menginginkan pembangunan, apalagi daerah wisata.
Wisata adalah orang datang melihat keindahan (Danau Toba) kemudian pulang meninggalkan uang. Tetapi ketika tanah ulayat mereka diambil BODT atas dasar hutan lindung, rakyat melakukan perlawanan. Pendekatan pemerintah seperti yang dilakukan BODT merupakan sebuah kekeliruan. Dibutuhkan kajian sosial budaya yang dalam dengan mengedepankan masyarakat lokal.
Baca juga: Togaraja, Tempat Wisata Baru Samosir untuk Nikmati Panorama Danau Toba
Pariwisata identik dengan memperkenalkan keindahan alam, budaya yang kaya kepada pengunjung. Namun dengan cara BODT, budaya lokal akan terkikis karena ekonomi mereka akan tergerus. Cara-cara BODT tidak menghasilkan rakyat yang ramah terhadap wisatawa.
Jika BODT melakukan pendekatan sosial dan mengajak rakyat untuk bersama membangun wisata dengan baik, maka relasi pemerintah dan masyarakat lokal akan terbangun dengan baik. Pemerintah dan warga lokal bergandengan untuk menyambut wisatawan. Pemerintah dan masyarakat lokal berbicara secara bersama konsep apa yang tepat untuk membangun wisata yang berkelanjutan.
Jika hal itu yang dilakukan, investasi hijau tidak hanya jadi wacana. Investasi hijau niscaya menjadi kenyataan. Hasil akhirnya destinasi wisata akan tetap indah, lestari, dan ekonomi warga meningkat secara berkelanjutan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.