BORONG, KOMPAS.com - Para misionaris asal Nusa Tenggara Timur (NTT) sedang mempromosikan kebudayaan lokal di Ekuador, Amerika Latin.
Salah satu dari ratusan budaya tari yang dipertunjukkan dari NTT adalah Tari Hedung. Tarian asal Flores Timur itu ditampilkan di Crucita, Provinsi Manabi, Ekuador.
Baca juga:
Hal ini dilakukan dalam rangka meramaikan "Malam budaya Para Misioneraros Sabda Allah di Ekuador" atau 25 tahun tiga imamat asal Indonesia berkarya di Ekuador.
"Kami mempromosikan kepada masyarakat Ekuador dan misionaris dari negara lain yang menjadi misionaris Kongregasi Serikat Sabda Allah," kata salah satu misionaris di Ekuador asal Flores Timur, Pater Romanus Thomas, SVD saat dihubungi Kompas.com, Kamis (27/4/2023).
Adapun Tari Hedung juga biasa dipertunjukkan setiap adanya penjemputan tamu dan wisatawan.
Baca juga: Wisata ke Nagekeo NTT, Bisa ke Mana Sana?
Pater menuturkan, ia juga ikut menari bersama imamat lainnya pada acara tersebut.
Menurutnya, warga Ekuador yang saat itu hadir di sana ikut menikmati tarian.
"Warga Ecuador yang hadir pada perayaan Malam Budaya Para Misioneraris Sabda Allah di Ekuador sungguh menikmati pementasan tarian Hedung," ucap dia.
Baca juga: Ritual Reba Masyarakat Ngada NTT, Syukur pada Tuhan, Alam, dan Leluhur
View this post on Instagram
Dikutip dari situs Jadesta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Tari Hedung adalah sejenis tarian perang tradisional dari masyarakat Adonara, Flores Timur, NTT.
Tari Hedung dibawakan baik oleh penari laki-laki maupun perempuan, dengan mengenakan pakaian dan senjata perang.
Gerakan tari yang dipertunjukkan menggambarkan jiwa kepahlawanan masyarakat Adonara di medan perang.
Tari Hedung biasanya diiringi dengan musik tradisional, seperti gong bawa (gong gendang), gong inang (gong induk), gong anang (gong kecil), keleneng, dan gendang.
Baca juga:
Untuk kostumnya, penari laki-laki biasanya mengenakan nowing, sementara penari perempuan mengenakan kewatek.
Mereka menari dengan aksesori ikat pinggang, selendang, dan hiasan kepala, serta membawa kanube (parang), gala (tombak), dan dopi (perisai).
Seiring berkembangnya zaman, tarian ini sudah tidak lagi digunakan sebagai tarian perang, namun masih dipertunjukkan di berbagai acara, seperti menyambut tamu penting, acara budaya, dan acara adat.
Fungsi tarian ini juga dimaknai sebagai penghormatan terhadap leluhur.
Meski ada sejumlah variasi yang banyak dilakukan, penampil tidak menghilangkan keaslian tarian ini demi melestarikan budaya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.