KOMPAS.com - Penduduk Jakarta, khususnya yang tinggal di daerah Jakarta Barat tentu tidak asing dengan nama Angke, lokasinya ada di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Namun sepertinya tidak banyak yang tau bahwa Angke ialah kawasan yang menyimpan sejarah panjang kehidupan orang Batavia dalam menghadapi pemerintah Belanda.
Ada beragam pendapat yang memaknai kata "Angke", salah satunya pendapat mengatakan bahwa "Angke" diambil dari bahasa China Hokkian, yaitu "Ang" yang berarti darah atau merah, dan "Ke" yang berarti sungai atau kali.
Baca juga:
Nama Angke disematkan karena menurut sejarah, dahulu pernah terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa di Batavia sekitar 1740, dan mengakibatkan ribuan orang Tionghoa meninggal dibunuh kolonial Belanda.
Lihat postingan ini di Instagram
Jenazah orang Tionghoa tersebut bergelimpangan dan sebagian besar di antaranya hanyut ke kali (kini Kali Angke). Alhasil, air kali menjadi berwarna merah karena tercampur darah manusia.
Sehingga, nama "Angke" melekat, dan daerah tersebut yang dulunya bernama Kampung Bebek berubah menjadi Kampung Angke.
Pada masa pemerintahan Belanda, penduduk dikelompokkan berdasarkan etnisnya, dan setiap etnis dikepalai oleh seorang pemimpin yang disebut kapitan. Begitu juga dengan kelompok yang tinggal di Kampung Angke.
Mengutip buku "Masjid & Majelis Bersejarah di Jakarta Barat" karya Firman Haris, Kartum Setiawan, Agus Wirawan, dan Usman (2023), dahulu Kampung Angke menjadi tempat persinggahan para pedagang etnis Tionghoa setelah peristiwa berdarah tahun 1740.
Tidak hanya orang Tionghoa, orang Bali perantauan pun juga bermukim di sana. Kemudian secara besar-besaran datanglah orang Tionghoa dan Sunda yang berasal dari Garut ke Batavia.
Baca juga: Masjid KH Hasyim Asyari, Masjid Raya Pertama di Jakarta Barat
Jumlah orang Bali di Batavia pada saat itu bisa dibilang cukup besar, bahkan pernah menjadi populasi terbanyak kedua di Batavia.
Pada 1687 setidaknya ada sekitar empat kampung Bali di sekitar Batavia, dan pada 1709 kampung Bali di sana dipimpin oleh kapitan bernama Gusti Ktut Badulu.
Orang Bali yang tinggal di sana tidak semuanya beragama Hindu, ada pula yang beragama Islam. Inilah yang menjadi salah satu cikal bakal berdirinya Masjid Jami' Angke pada 1761.
Arsitektur Masjid Jami' Angke mengadopsi beragam gaya arsitektur. Seperti ukiran pada bagian pintu yang menonjolkan unsur budaya Bali.
Kemudian pada bagian atas masjid berbentuk tajuk tumpang dengan konstruksi soko guru merupakan pengaruh bentuk arsitektur tradisional Jawa.
Sementara itu, bagian jendela masjid mengadopsi gaya arsitektur khas Betawi. Jendela di sini hanya dibatasi tiang kayu dan tidak ditutup sempurna, karena berfungsi sebagai sumber cahaya matahari untuk masuk ke dalam masjid.
Baca juga: Kisah Kelenteng Fat Cu Kung Jakarta Barat, Tempat Berdoa Kepada Dewa Rezeki
Jika melihat bagian atap masjid, terdapat ornamen gigi balang yang merupakan ornamen khas pada rumah suku Betawi.
Bangunan Masjid Jami' Angke termasuk kecil karena hanya memiliki daya tampung sekitar 1.000 jamaah. Meskipun begitu, masjid ini masih banyak dikunjungi, entah untuk beribadah atau wisata sejarah.
Bila hendak berkunjung ke Masjid Jami' Angke, lokasinya ada di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Gang Masjid 1, RT 001 RW 005, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.